Pohukam
Demi Kemajuan Papua, Warga Arso ini Minta Lukas Enembe Buka Semua Kroni yang Terlibat

ARSO, Jurnaljakarta.com – Thomas Kereway, 61 tahun, warga Kabupaten Keerom ini, ternyata aktif mengikuti perkembangan berita terkait proses hukum kasus dugaan korupsi yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe. Bahkan informasi tentang perkembangan kondisi kesehatan Lukas juga tak lepas dari perhatian pria kelahiran Manokwari lulusan STM Sentani jurusan mesin ini.
“Bapa Lukas ada minta ijin ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) supaya bisa pergi berobat ke Singapura. Mungkin Bapa Lukas punya penyakit agak berat sehingga Rumah Sakit di Indonesia tra bisa atasi,” ungkap warga Kampung Yammua ini di Arso, Keerom, Kamis, 1/12/2022.
Sebagaimana diberitakan, pada 28 November 2022, tim kuasa hukum Gubernur Papua Lukas Enembe meminta KPK mengizinkan kliennya untuk berobat ke Singapura, mengingat kondisi penyakit kliennya tersebut kian tambah parah. Sehingga pihaknya kemudian bersurat ke KPK agar Lukas Enembe diizinkan berobat ke Singapura.
Di sisi lain, Thomas juga mendoakan kesembuhan orang nomor satu Papua itu. Dengan satu harapan, supaya kondisi kesehatan Lukas tidak menghambat proses penegakan hukum kasus dugaan korupsi yang sedang ditangani KPK.
Menurut Thomas, langkah-langkah yang sudah ditempuh lembaga antirasuah itu dalam penanganan kasus dugaan korupsi terhadap Gubernur Papua sudah tepat dan sangat manusiawi. Mestinya, Lukas juga membalasnya dengan bersikap lebih koperatif terhadap KPK dan lebih legowo, supaya dugaan korupsi yang dituduhkan kepadanya bisa segera selesai.
“Secara hukum itu (KPK) sudah benar sekali. Jadi, Pak Lukas juga harusnya, orang Jawa bilang legowo. Benar dan tidaknya (tuduhan terhadap Lukas) itu ada di pihak penegak hukum (KPK), agar jelas. Itu harapan saya, begitupun harapan masyarakat Papua,” kata Thomas.
Thomas juga meminta Gubernur Papua mau buka-bukaan terhadap KPK, siapa saja kroni-kroni Lukas, baik pihak swasta, lebih-lebih para pejabat daerah lainnya yang ada di wilayah Papua.
“Kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah, itu hal yang biasa-biasa saja. Artinya, barang itu pasti akan terjadi. Silahkan dia (Lukas Enembe) harus menjelaskan semua kaki-tangannya. Barang ini (nama kroni-kroni) ada di saku Bapak Lukas Enembe, bukan ada di luar tapi ada di dalam. Jadi kita dan yang lain-lain mungkin tidak tahu, nanti KPK yang pegang kemudian periksa, itu baru,” imbuh Thomas.
Thomas menilai, perilaku koruptif para pejabat daerah adalah faktor penyebab utama gagalnya pembangunan kesejahteraan di wilayah Papua pada era Otonomi Khusus (Otsus) tahap pertama.
“Terus terang, kami orang Papua asli, kami tidak mengalami kemajuan. Kendalanya mungkin dari pengelola dana Otsus atau pimpinan tingkat atas di Provinsi Papua. Pasti ada penyelewengan,” kata Thomas.
Jika Lukas mau membuka semua kroninya, lanjut Thomas, selain memudahkan tugas KPK, juga akan sangat membantu mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat Papua pada era Otsus tahap kedua ini, sehingga tidak mengikuti hasil Otsus tahap satu yang dinilainya gagal dan terhambat akibat korupsi.
Harapan Thomas sederhana, yakni pada Otsus tahap kedua ini tidak ada lagi korupsi, sehingga pembangunan bisa berjalan lebih lancar dan menyentuh kebutuhan dasar orang Papua.
“Harapan saya, dengan dana Otsus bisa bantu kami bisa sekolahkan anak baik-baik, kami punya rumah bisa bangun baik-baik, kami bisa kelola ladang baik-baik. Bapak Gubernur Lukas Enembe dan semua jajaran yang ada di tingkat provinsi agar ke depan ini, dana Otsus Jiid Dua bisa dikelola dengan lebih baik supaya kami orang Papua di lokasi kampung asli maupun lokasi transmigrasi (di Kabupaten Keerom) kami bisa merasakan dana Otsus itu. Jangan seperti yang sudah lalu, kami hanya mendengar saja, wujudnya tidak ada sama sekali,” ungkap Thomas penuh harap. (Red)
Pohukam
70% Pemberitaan Tempo Negatif terhadap Kementan, Pengamat: Fakta Cukup untuk Pidana, Tapi Gugatan Perdata Paling Tepat

JurnalJakarta.com — Gugatan perdata Kementerian Pertanian (Kementan) terhadap Tempo atas unggahan visual “Poles-poles Beras Busuk” (16 Mei 2025) dinilai sebagai langkah yang proporsional dalam sengketa pers.
Pengamat Debi Syahputra menegaskan, pilihan perdata menunjukkan penghormatan Kementan terhadap kemerdekaan pers, meski secara hukum materi yang dimiliki cukup untuk dijadikan laporan pidana.
“Fakta yang dimiliki Kementan sebenarnya cukup untuk laporan pidana, tapi pilihan perdata menunjukkan penghormatan pada kemerdekaan pers. Ini jalur yang tepat untuk menguji proporsionalitas pemberitaan tanpa mengkriminalisasi media,” kata Debi di Jakarta, Selasa(16/9).
Debi menilai persoalan ini tak lepas dari pola pemberitaan Tempo yang menurutnya cenderung tidak proporsional dan sering cenderung menghakimi. Berdasarkan informasi yg diperoleh sebelumnya lebih dari 70% pemberitaan Tempo seringkali menyudutkan Mentan Amran dan kebijakan sektor pertanian dari sisi negatif.
Berdasarkan riwayat pemberitaan menurut Debi, kasus ini bukan yang pertama kali terjadi. Tempo pada 2019 juga dinyatakan melanggar etik Dewan Pers melalui PPR No. 45/PPR-DP/X/2019 terkait artikel ‘Gula-gula Dua Saudara’. Pada saat itu, Kementan juga membawa kasus ini ke jalur hukum dengan tuntutan 100 milliar tapi kemudian dibatalkan.
“Tempo ibaratnya residivis dalam pelanggaran etik jurnalistik. Putusan Dewan Pers sudah jelas, tapi pola serupa diulang lagi. Sudah dimaafkan tapi diulang kembali. Wajar kalau akhirnya digugat iktikad dari Tempo. Apakah memang bagian jurnalistik atau ada maksud lain?” tambah Debi.
Menurut Debi, langkah mengajukan gugatan hukum perdata yang diambil oleh Kementan sudah tepat. Apalagi sebelumnya Kementan sudah mengambil jalur pengaduan melalui Dewan Pers sebagai representasi dari swa regulasi.
“Publik perlu menelaah lebih lanjut, apakah Tempo sudah secara sungguh-sungguh melaksanakan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers? Kalau Kementan sampai mengajukan tututan hukum, kemungkinan besar mereka menilai Tempo tidak menjalankan rekomendasi Dewan Pers,” ungkap Debi.
Debi secara pribadi menilai, opini yang dibangun Tempo pun tidak selaras dengan data faktual. Debi mengingatkan, kritik terhadap pemerintah memang diperlukan, tetapi harus proporsional dan berbasis fakta.
“Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang juga didukung oleh data FAO, Indonesia tahun ini surplus beras. Terlebih dibuktikan bahwa Indonesia tahun ini tidak impor beras medium. Cadangan beras pemerintah yang dikelola oleh Bulog juga melimpah dan faktanya bisa dilihat berkualitas baik. Namun framing yang diangkat seolah sektor pertanian gagal total,” ujarnya.
Debi berpendapat, gugatan perdata yang diajukan Kementan sangat wajar. Karena yang dipertaruhkan oleh Kementan bukan semata soal reputasi institusi atau personal Menteri Pertanian. Menurutnya, gugatan Kementan dilakukan untuk melindungi kepentingan petani.
“Saya mengamati betul usaha Mentan Amran dalam melawan mafia pangan, dan saya rasa publik juga melihat langsung keberpihakan Mentan Amran terhadap petani. Narasi yang keliru justru meruntuhkan optimisme publik dan merugikan petani yang bekerja keras. Itu yang perlu diluruskan,” tegasnya.
Debi pun berharap kasus gugatan perdata terhadap Tempo ini menjadi pendidikan yang positif bagi korporasi media.
“Publik layak mendapat pemberitaan yang akurat, bukan framing yang melemahkan semangat petani maupun kepercayaan masyarakat,” pungkas Debi.(*)
Pohukam
Sambangi Kantor Satpol PP Demak, Ketua PGSI Apresiasi Gerakan Massif Operasi Pekat dan Gempur Rokok Ilegal

DEMAK, JURNALJAKARTA.COM – “Kami para guru yang tergabung dalam PGSI Kabupaten Demak, mengapresiasi atas gerakan massif teman-teman Satpol PP Demak, yang dengan keterbatasan personil, tak kenal lelah selalu gencar melakukan operasi Pekat (Penyakit Masyarakat) atas peredaran es moni, miras, hingga rokok ilegal”.
Hal itu disampaikan oleh ketua PGSI (Persatuan Guru Seluruh Indonesia) Kabupaten Demak, Noor Salim, kepada sejumlah awak media, usai menyambangi kantor satpol PP Demak, sebagai bagian dari rangkaian Harlah PGSI Ke- XIV, Senin sore (30/6/2025).
Operasi Pekat dan gempur rokok ilegal ini penting untuk cipta kondisi, terlebih saat anak- anak sekolah sedang libur panjang, diluar pengawasan para guru.
“Disaat para siswa libur panjang diluar jangkauan pengawasan para guru, maka cipta kondisi yang aman sangat dibutuhkan oleh orangtua siswa dan masyarakat umum, salah satunya dengan operasi pekat dan gempur rokok ilegal, yang dilakukan oleh Satpol PP Demak,” tutur Noor Salim, pria penerima penghargaan tingkat ASEAN tersebut.
Namun dia juga mendesak agar gempur rokok ilegal semestinya tidak hanya berhenti sampai penyitaan dan sanksi administratif saja, tetapi harus tuntas hingga ke pelaku produksi untuk dihadapkan dengan hukum pidana.
“Maka penyitaan rokok ilegal yang sudah gencar dilakukan oleh Satpol PP, harus ditindaklanjuti oleh Bea Cukai, berdasar kewenangannya pada Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2007, tentang Cukai, supaya produsen dihadapkan dengan hukum pidana, untuk itu bea cukai jangan berhenti pada pemulihan kerugian pendapatan negara saja,” pungkas Salim.
Senada disampaikan oleh Komandan Satpol PP, Agus Sukiyono, dia menyampaikan bahwa, pemerintah daerah melalui Satpol PP, setiap waktu secara massif melakukan operasi pekat dan Gempur Rokok Ilegal.
“Atas instruksi Ibu Bupati Demak, Pemkab Demak melalui Satpol PP, secara massif melakukan operasi pekat dan gempur rokok ilegal, hal ini dilakukan untuk cipta kondisi, juga mengingat dampak negatif peredaran rokok ilegal yang bukan hanya dapat merugikan keuangan negara karena kehilangan potensi penerimaan cukai, namun jerat hukum juga dapat dan mengena pada pelaku pengedar rokok ilegal,” kata Agus.
Disisi lain, Komandan Satpol PP tersebut, juga menyampaikan bahwa, Tim Satpol PP juga terus gencar melakukan operasi pekat penegakan hukum Perda, dengan menyita sejumlah barang bukti.
“Operasi pekat dan gempur rokok ilegal di tahun 2025, hingga akhir Juni ini, terkumpul ribuan barang bukti, berupa 2.000 botol Miras, akan dimusnahkan bulan Agustus, dan 40.000 batang Rokok ilegal, Insya Allah dimusnahkan akhir tahun bersama bea cukai,” pungkas Agus Sukiyono. (Red).
Pohukam
SETARA Institute: Dukung Pembangunan, Polri Tetap Harus Jaga Integritas Penegakan Hukum.

JURNALJAKARTA.COM – Menyambut Hari Bhayangkara ke-78 pada 1 Juli 2025, SETARA Institute mengingatkan agar Polri tetap fokus pada tiga tugas utamanya: memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam siaran persnya, Minggu (29/6), SETARA menilai bahwa, ketiga tugas ini adalah barometer utama yang digunakan masyarakat dalam menilai kinerja institusi Polri.
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani, menyoroti dinamika fluktuasi kepercayaan publik terhadap Polri yang tercermin dalam sejumlah survei nasional. “Kepercayaan publik terhadap Polri sempat menyentuh angka 80 persen, namun menurun drastis ke angka 48,1 persen menurut Civil Society for Police Watch pada Februari 2025. Sementara Litbang Kompas mencatat angka 65,7 persen pada Januari 2025,” ujarnya.
SETARA juga menyinggung hasil riset internal mereka pada tahun 2024 yang mencatat masih adanya 130 permasalahan mendasar di tubuh Polri. Masalah-masalah tersebut menuntut langkah pembenahan sistemik dan berkelanjutan, demi memastikan Polri benar-benar bertransformasi menjadi institusi penegak hukum yang presisi dan terpercaya.
Dalam konteks kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, SETARA mencatat Polri cukup aktif dalam mendukung agenda besar Asta Cita, seperti penguatan ketahanan pangan dan optimalisasi penerimaan negara melalui pembentukan Satgas Khusus. Namun, SETARA mengingatkan bahwa, dukungan tersebut sebaiknya tetap berada dalam koridor tugas utama Polri.
“Polri lebih tepat bila berfokus pada penegakan hukum dalam distribusi pupuk dan pembongkaran kartel pangan, ketimbang langsung terlibat dalam aktivitas pertanian seperti menanam jagung dan padi,” tegas Ismail.
SETARA juga mengapresiasi langkah Polri dalam mengarusutamakan tata kelola yang inklusif, termasuk pembentukan Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak (PPA) serta Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Dalam Indeks Inklusi Sosial Indonesia (IISI) 2025, Polri termasuk lembaga yang dinilai responsif terhadap isu perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.
Sebagai langkah lanjutan reformasi kelembagaan, SETARA mendesak Komisi III DPR RI untuk segera merevisi Undang-Undang Polri dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Revisi ini dianggap penting sebagai instrumen transformasi sistemik dalam memperkuat sistem peradilan pidana nasional dan menjadikan Polri institusi yang benar-benar profesional dan modern.
“Transformasi Polri harus diarahkan untuk memperkuat integritas, akuntabilitas, dan keadilan dalam penegakan hukum. Dukungan terhadap pembangunan nasional memang penting, tapi tidak boleh mengaburkan tugas utama institusional Polri,” pungkasnya. (Red).