Kesehatan
Sejarah PT.PLN Dalam Upaya Menerangi Indonesia Untuk Memajukan Bangsa.
Tanggal 27 Oktober 2020 tepat sudah 75 Tahun kita memperingati Hari Listrik Nasional dengan perjalanan sejarah panjang kelistrikan nasional yang tak lepas dari peran pentingnya PT PLN (Persero) dalam upayanya Menerangi Indonesia untuk Memajukan Bangsa.
Tetapi tahukah kita bahwa dibalik semua peran PT PLN (Persero), ada catatan sejarah yang tidak bisa dilupakan terkait dengan peran serta para pemuda serta buruh listrik & gas pada masa kemerdekaan dalam berusaha mengambil alih dan menyatukan perusahaan listrik & gas yang dikuasi pemerintah kolonial Jepang, dimana kemudian pada bulan September 1945 suatu delegasi dari buruh listrik dan gas menghadap pimpinan KNI ( Komite Nasional Indonesia ) Pusat yang pada waktu itu diketuai oleh M. Kasman Singodimedjo untuk melaporkan hasil perjuangan mereka.

Selanjutnya delegasi bersama-sama dengan pimpinan KNI Pusat menghadap Presiden Sukarno untuk menyerahkan perusahaan-perusahaan listrik dan gas kepada Pemerintah Republik Indonesia. Penyerahan tersebut diterima oleh Presiden Sukarno dan kemudian dengan Penetapan Pemerintah No.1 Tahun 1945 tertanggal 27 Oktober 1945 dibentuklah Jawatan Listrik dan Gas dibawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga.
Dengan adanya agresi Belanda I dan II, sebagian besar Perusahaan-Perusahaan Listrik dikuasai kembali oleh Pemerintah Belanda atau pemiliknya semula. Para pekerja yang tidak mau bekerja sama kemudian mengungsi dan menggabungkan diri pada kantor-kantor Jawatan Listrik dan Gas di daerah-daerah Republik Indonesia yang bukan daerah pendudukan Belanda untuk meneruskan perjuangan.
Dengan ditanda tanganinya Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag Belanda pada tanggal 23 Agustus s.d 2 Nopember 1949 dimana merupakan titik puncak sejarah pengakuan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Kemerdekaan Republik Indonesia yang pada saat itu masih bernama Republik Indonesia Serikat (RIS), dimana seluruh wilayah Republik Indonesia harus diserahkan kembali oleh Pemerintah Kolonial Belanda paling lambat akhir tahun 1949 kecuali untuk wilayah Irian Jaya atau Papua yang akan diserah terimakan paling lambat setahun kemudian, maka untuk Presiden Sukarno pada tanggal 3 Oktober 1953 mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.163 Tentang Nasionalisasi Perusahaan Listrik Milik Bangsa Asing di Indonesia jika Masa Konsensinya Habis.
Sejalan dengan meningkatnya Perjuangan Bangsa Indonesia untuk membebaskan Irian Jaya dari cengkeraman Penjajahan Belanda, maka Dikeluarkan Undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 Tertanggal 27 Desember 1958 Tentang Nasionalisasi Semua Perusahaan Belanda Dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan Listrik Dan Gas Milik Belanda. Dengan undang-undang tersebut, maka seluruh perusahaan listrik Belanda berada di tangan Pemerintah Republik Indonesia.
Dari sejarah singkat diatas sangatlah jelas bahwa kaum buruh mempunyai peranan penting dalam terbentuknya Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang kini dikenal dengan PT PLN (Persero), meskipun pada masa Era Orde Baru para pekerja di sektor kelistrikan tersebut sempat bernaung didalam wadah Korps Pegawai Republik Indonesia atau disingkat KORPRI selama tahun 1971 s.d tahun 1999 dimana setelah pasca Reformasi dilingkungan PT PLN (Persero) dibentuk Organisasi Serikat Pekerja PT PLN (Persero) atau disingkat SP PLN pada tanggal 18 Agustus 1999 sebagai tindak lanjut dari diratifikasinya Konvensi ILO Nomor 87 tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat bagi Pekerja serta terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 83 tahun 1998 pada masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie, yang kemudian Menteri Negara Pendayagunaan BUMN cq. Staf Ahli Bidang Komunikasi dan Pengembangan SDM menerbitkan surat No. S.19/MSA-5/BUMN/1999 tanggal 15 Maret 1999 perihal Instruksi Memfasilitasi Pendirian Serikat Pekerja serta Keputusan Direksi No. 061.K/010/DIR/1999 tanggal 7 April 1999 tentang Pembentukan Tim Penyuluhan Pembentukan Wadah/ Organisasi/Serikat Pekerja Pegawai PT. PLN (Persero).
Berdirinya organisasi serikat pekerja di lingkungan PT PLN (Persero) telah memberikan catatan sendiri bagaimana PLN hingga saat ini masih tetap eksis memainkan perannya dalam sektor ketenagalistrikan baik dalam menerangi negeri maupun peran strategis politisnya dalam mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana listrik dapat dikategori sebagai “Menguasai Hajat Hidup Orang Banyak” sehingga harus dikuasai oleh negara.
Sejarah mencatat bahwa pada tahun 2002 pada saat Ir. A. Daryoko menjadi Ketua Umum, SP PLN pernah membatalkan UU No.20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan melalui Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dimana berpotensi terjadinya Unbundling atau pemisahan PLN secara Vertikal mulai Pembangkit, Transmisi, Distribusi dan Retail. Pada tanggal 30 Januari 2008, SP PLN juga pernah melakukan Demo Aksi Damai ke Istana untuk Menolak Keputusan RUPS Tahun 2008 yang berpotensi terjadinya Unbundling PLN secara Horizontal antara PLN di Pulau Jawa (menjadi anak perusahaan) dengan PLN diluar Pulau Jawa (diserahkan ke Pemerintah Daerah pengelolaannya).
Setahun berikutnya menjelang di SAH kannya UU No.30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan, pada bulan September 2009 bertepatan dengan bulan Ramadhan 1440 H, SP PLN kembali melakukan Demo Aksi Penolakan undang-undang tersebut sebelum di SAH kan oleh Presiden SBY. UU No.30 Tahun 2009 ini juga pernah di Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi oleh SP PLN pada tahun 2016 terkait Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 11 ayat 1 dimasa H. Adri sebagai Ketua Umum.
Penolakan SP PLN terhadap upaya Swastanisasi dan Pelemahan PLN pernah juga dilakukan dengan digelarnya Konferensi Pers tanggal 11 Februari 2016 bertempat di Plaza Tertutup Kantor Pusat PT PLN (Persero) Jl. Trunojoyo Blok M/I No.135 Kebayoran Baru Jakarta Selatan yang disampaikan Drs. Deden Adityadarma sebagai Ketua Umum terkait rencana menteri ESDM dan Dirjen Ketenagalistrikan dalam rangka pemecahan aset PLN dan Penyerahan Pengelolaannya kepada pihak swasta di 6 (enam) Propinsi Indonesia Bagian Timur
Bagaimana SP PLN menyikapi pengelolaan sektor ketenagalistrikan saat ini ?
Dimasa Ir. Jumadis Abda sebagai Ketua Umum, SP PLN terus menerus menyuarakan Penolakan Program 35.000 MW dengan klausus Take Or Pay yang berpotensi merugikan keuangan PLN kedepannya sekitar Rp. 140 T. Setidaknya SP PLN telah melakukan 2 (dua) kali Demo Aksi Damai terkait hal tersebut pada tanggal 20-22 April 2016 (SP PLN On The Street) dan tanggal 24-25 Januari 2017 (Rapat Akbar). SP PLN menilai bahwa bilamana Program 35.000 MW dilaksanakan maka akan terjadi Over Supply dimana dengan klausus Take Or Pay dan dominasi penguasaan pembangkit oleh pihak swasta / IPP (Independent Power Producer) maka kelebihan pasokan tenaga listrik tersebut tetap harus dibayar oleh PLN dengan biaya yang lebih tinggi daripada biaya operasi pembangkit milik PLN sehingga akan banyak pembangkit listrik milik PLN yang harus dihentikan pengoperasiannya untuk menekan kerugian yang ditimbulkan. SP PLN pada saat itu menilai bahwa untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi 5-7% per tahun yang dicanangkan oleh Presiden RI Joko Widodo, setidaknya hanya diperlukan penambahan pembangkit listrik sebanyak 19.000 MW saja sebagaimana yang pernah disuarakan juga oleh Rizal Ramli pada tahun 2016 saat masih menjabat sebagai Menko Kemaritiman. Hingga saat ini tercatat baru 8.400 MW dari 35.000 MW yang telah beroperasi atau 24% dari yang ditargetkan dan harus selesai di tahun 2019 pada awalnya. SP PLN melalui Ketua Umum saat ini M. Abrar Ali, SH menilai bahwa kontrak IPP perlu dilakukan renegosiasi ulang dengan pihak IPP dan harus saling menguntungkan sehingga dalam berbagai kesempatan maupun spanduknya SP PLN menyatakan dukungannya kepada Direksi PLN untuk melakukan Renegosiasi Kontrak IPP Program 35.000 MW yang saat ini untuk Tim Negosiasinya diketuai oleh Direktur Mega Project M. Ikhsan Asaad.
Perubahan Budaya Perusahaan yang dimasa Zulkifli Zaini sebagai Direktur Utama yang dicanangkan oleh Erick Thohir sebagai Menteri BUMN yaitu AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kolaboratif direspon secara positif oleh SP PLN. Abrar menilai perubahan budaya perusahaan tersebut diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme dalam pengelolaan dan produktivitas pegawai sehingga diharapkan pendapatan perusahaan akan meningkat yang nantinya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan insan PLN. Tetapi SP PLN juga mengingatkan bahwa setiap hal yang sudah direncanakan tidak selamanya bisa berjalan dengan mulus dan sebagai contoh adalah dampak dari Penyebaran Wabah Virus COVID-19 yang juga berakibat pada turunnya penjualan tenaga listrik oleh PLN meskipun pada Semester I tahun ini PLN masih mencatat laba sebesar Rp. 273,059 miliar tetapi turun 97% dibanding semester I tahun 2019 yang mencatat laba sebesar Rp. 7,35 triliun. Untuk itu SP PLN berulang kali mengajak Direksi PLN untuk bersinergi dalam mengawal setiap permasalahan yang timbul serta berpotensi sebagai ancaman baik dari dalam maupun luar atas eksistensi PLN dalam menjalankan peran strategisnya untuk menjaga kesinambungan penyediaan tenaga listrik.
Hal lain yang juga menjadi perhatian SP PLN menurut Abrar yang didampingi Ir. Bintoro Suryo Sudibyo (Sekjend), Budi Setianto, SE (Bendum) dan Parsahatan Siregar, ST (Wasekjend II) hari ini Selasa (27/10/2020) saat berada di Sekretariat DPP SP PLN Gedung I lantai 9 PT PLN (Persero) Kantor Pusat – Jl. Trunojoyo Blok M I/135 Kebayoran Baru Jakarta Selatan adalah terkait UU Cipta Kerja Omnibus Law dimana SP PLN juga Menolak UU Cipta Kerja Omnibus Law karena dikhawatirkan akan berdampak langsung pada pengelolaan sektor ketenagalistrikan di negeri ini. Namun berbeda dengan Aksi Penolakan yang dilakukan oleh banyak serikat pekerja/buruh terhadap undang-undang ini, SP PLN lebih menggunakan cara-cara yang lebih effektif dan konstruktif yaitu dengan menginstruksikan pemasangan spanduk penolakan UU Cipta Kerja Omnibus Law dan menempuh langkah melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi yang rencana bergabung bersama-sama dengan eleman masyarakat dan serikat pekerja/buruh lainnya. Dari awal SP PLN ketika spanduk penolakan terpasang pertama kali tanggal 5 Oktober 2020 telah menggaungkan upaya langkah hukum melalui Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan bahwa PLN merupakan asset strategis bangsa dan object vital nasional. Dan selaras dengan apa yang disuarakan oleh SP PLN, Presidan RI Joko Widodo pun dalam pernyataan resminya kepada media pada tanggal 9 Oktober 2020 juga menyarankan kepada para pihak yang tidak puas dengan UU Cipta Kerja Omnibus Law dan menolaknya untuk melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Artinya adalah ada keselarasan berpikir antara SP PLN sebagai organisasi serikat pekerja di lingkungan PLN dengan Pemerintah dalam menyikapi permasalahan tersebut tegas Abrar. Harapannya menurut Abrar lebih lanjut ditengah Peringatan 75 Tahun Hari Listrik Nasional adalah Pemerintah lebih bisa mendengar dan memfasilitasi upaya-upaya yang dilakukan oleh PLN baik melalui Direksi PLN ataupun SP PLN dalam menjaga kelangsungan pasokan tenaga listrik dimana salah satunya dengan melakukan Renegosiasi Kontrak IPP Program 35.000 MW.
Dan untuk internal PLN sendiri khususnya kepada Direksi PT PLN (Persero), sebagai Ketua Umum SP PLN mewakili seluruh anggota SP PLN khususnya dan insan PLN pada umumnya, Abrar menyampaikan harapannya agar Perundingan PKB yang sempat dihentikan pada bulan Agustus 2016 oleh Manajemen PLN agar segera dilanjutkan kembali untuk memberikan perlindungan bagi setiap insan PLN sesuai dengan tema spanduk ataupun ucapan Selamat Hari Listrik Nasional Ke-75 Tahun dari SP PLN yaitu “Sinergi antara Perseroan dengan SP PLN meningkatkan Produktivitas Pegawai, Pendapatan Perusahaan & Kesejahteraan Insan PLN serta terujudnya PKB baru yang bermartabat ”. Dan dengan meningkatnya produktivitas dan pendapatan maka diharapkan PLN akan semakin maksimal dalam menjalankan perannya menjaga kedaulatan energi di negeri sendiri.
Kesehatan
Mencari Jalan Keluar dari Defisit BPJS, Saatnya Inovasi Pembiayaan Kesehatan
DISKUSI-PTPI dengan Perwakilan BPJS di Rumah Sakit Kariadi, menggelar Diskusi tentang Tantangan dan Strategi Pembiayaan Kesehatan Program Jaminan Kesehatan. (Foto Ist).
JURNALJAKARTA.COM – Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah menjadi pilar utama dalam mewujudkan akses kesehatan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, keberhasilan peningkatan jumlah pasien yang terlayani melalui program prioritas pemerintah kini berhadapan dengan tantangan fundamental, yakni menjaga keberlanjutan finansial BPJS Kesehatan.
Hal tersebut diungkapkan Prof. Dr. Eko Supriyanto P.H.Eng, Presiden Perkumpulan Teknik Pelayanan – Kesehatan Indonesia (PTPI) melalui keterangannya, Senin (20/10).
Disebutkan, data terbaru dari Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa per 31 Maret 2025, cakupan peserta JKN tercatat 279,5 juta jiwa (98,3% dari total penduduk (anggaran .kemenkeu.go.id). Namun, jumlah peserta nonaktif BPJS Kesehatan juga dilaporkan meningkat menjadi 56,8 juta jiwa hingga Maret 2025.
Seiring peningkatan layanan prioritas di berbagai rumah sakit, jumlah pasien yang terlayani kian bertambah, begitu pula klaim yang harus dibayar BPJS. Tanpa langkah mitigasi yang tepat, kondisi ini berpotensi menimbulkan defisit struktural yang dapat membebani keuangan negara. Karena itu, sejumlah opsi tengah dikaji, di antaranya:
1. Penggratisan biaya sarana dan prasarana (SPA) untuk layanan prioritas di rumah sakit pemerintah, agar klaim BPJS bisa difokuskan pada pembiayaan jasa tenaga medis.
2. Penyesuaian atau peningkatan iuran BPJS secara bertahap, menyesuaikan proyeksi aktuaria dan kemampuan fiskal negara menuju Indonesia Maju 2045 (Iuran BPJS 10% gaji).
3. Diversifikasi pembiayaan kesehatan melalui kolaborasi dengan asuransi swasta dan pembiayaan korporasi berbasis risiko penyakit serta kemampuan finansial individu.
Isu strategis ini akan dibahas dalam Seminar INAHEF 2025 yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Teknik Pelayanan-Kesehatan Indonesia yang dijadwalkan pada tanggal 23 Oktober 2025, Sekitar pukul 15.00-17.00 WIB di Gedung SMESCO Indonesia, Jakarta.
Seminar ini akan membahas arah baru pembiayaan kesehatan nasional, khususnya transformasi JKN menuju model pembiayaan berbasis risiko dan efisiensi layanan dengan narasumber dari Kementerian Kesehatan RI, BPJS Kesehatan, asosiasi rumah sakit swasta. (Red).
Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan dan agenda lengkap INAHEF 2025, silakan kunjungi situs resmi di https://inahef.com/atau hubungi Prof. Dr. Eko Supriyanto P.H.Eng., Presiden PTPI.
Kesehatan
Indonesia Tertinggal Dalam Memanfaatkan Lulusan Teknik Biomedika di Rumah Sakit
SOLID-Presiden PTPI, Prof. Eko Supriyanto bersama dengan Ketua Umum Perkumpulan Ahli Teknik Biomedika Indonesia, para Dosen Teknik Biomedika UI, serta lulusan Teknik Biomedika, mendiskusikan masa depan Lulusan Teknik Biomedika. (Foto Ist).
JURNALJAKARTA.COM – Prof. Dr. Eko Supriyanto P.H.Eng, Presiden Perkumpulan Teknik Pelayanan-Kesehatan Indonesia (PTPI) mengungkapkan bahwa, Keselamatan, mutu, keamanan, keramahan dan keterpantauan sarana, prasarana dan alat (SPA) di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) masih menjadi isu penting dalam sistem kesehatan nasional. Sejumlah insiden teknis di rumah sakit dan fasyankes menunjukkan bahwa, aspek penunjang teknis sering kali belum dikelola secara profesional.
“Salah satu penyebab utamanya, selain sistem manajemen dan keterbatasan biaya, adalah kurangnya tenaga teknik yang kompeten dan tersertifikasi di bidang pelayanan kesehatan,” ujarnya melalui keterangannya, Senin (20/10).
Menurut Prof. Eko, Federasi Teknik Pelayanan Kesehatan Internasional (IFHE), Tenaga Teknik di Rumah Sakit (Fanyankes) terdiri dari Tenaga Teknik Bangunan (Sipil dan Arsitektur), Teknik Mesin, Teknik Elektro, Teknik Lingkungan, Teknik Informatika dan Teknik Biomedika (Alat Kesehatan). Sejak tahun 1950-an di negara-negara di Eropa, tenaga teknik biomedika (biomedical engineers) telah menjadi bagian integral dari sistem rumah sakit dan berperan dalam perencanaan, instalasi, pengujian, pengelolaan dan pemeliharaan peralatan serta sistem infrastruktur kesehatan.
Di Indonesia, disiplin teknik biomedika sebagai bidang pendidikan formal baru berkembang dalam kurun waktu kurang dari satu dekade dengan program studi pertama baru dibuka sekitar tahun 2014 di sejumlah universitas teknik. Akibatnya, jumlah lulusan yang siap bekerja di rumah sakit masih terbatas.
Saat ini, banyak pekerjaan teknis di rumah sakit mulai dari perencanaan, konstruksi, instalasi, pengujian, penilaian, pengelolaan, hingga pelatihan dan pengawasan sistem bangunan, listrik, tata udara, pengolahan limbah, alat kesehatan dan sistem informasi masih dirangkap oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan. Hal ini menyebabkan hasil kerja kurang memenuhi standar minimum keselamatan dan mutu fasilitas kesehatan.
Disisi lain, tuntutan Revolusi Industri 4.0 membuat penggunaan teknologi di RS semakin masif, mulai dari sistem informasi terintegrasi hingga robotika. Ini mengindikasikan bahwa, Fasyankes membutuhkan lulusan teknik dalam jumlah yang semakin besar. Sejalan dengan itu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah secara resmi mengakui tenaga teknik biomedika sebagai bagian dari tenaga kesehatan.
“Untuk mendukung implementasi UU tersebut, diperlukan perumusan komposisi, kompetensi, jenjang karier dan standar remunerasi (gaji) bagi lulusan teknik yang bekerja di fasilitas kesehatan. Langkah ini penting agar profesional teknik memiliki jalur karier yang jelas dan diakui secara hukum, sekaligus memastikan fasyankes dikelola oleh tenaga ahli sesuai bidangnya,” ujarnya.
Menjawab terkait hal ini, Seminar “Kompetensi dan Karir Lulusan Teknik di Fasyankes Berdasarkan UU Kesehatan Terbaru” akan diselenggarakan oleh Perkumpulan Teknik Pelayanan-Kesehatan Indonesia dalam rangkaian INAHEF 2025, pada Jum’at (24 Oktober 2025), pukul 15.00–17.00 WIB di Gedung SMESCO Indonesia, Jakarta.
Seminar ini akan menghadirkan narasumber dari Kementerian Kesehatan RI, Perkumpulan Program Studi Teknik Biomedika Indonesia (P2TBI), serta Kolegium Teknik Biomedik Indonesia (KTBI) untuk membahas regulasi, kompetensi dan mekanisme pengakuan profesi teknik di fasyankes. (Red).
Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan dan agenda lengkap INAHEF 2025, silakan kunjungi situs resmi di https://inahef.com/atau hubungi Prof. Dr. Eko Supriyanto P.H.Eng., Presiden PTPI.
Kesehatan
Kementerian Kesehatan dan BSN, Gelar Pelatihan Gratis untuk Seluruh Rumah Sakit di Indonesia
FOTO BERSAMA-Prof. Eko Supriyanto foto bersama dengan para Narasumber, dalam rangka persiapan workshop penyusunan master plan dan studi kelayakan Smart Hospital, Kementerian Kesehatan, Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Perkumpulan Teknik Pelayanan-Kesehatan Indonesia (PTPI). (Foto Ist).
JURNALJAKARTA.COM – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bekerja sama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN) mengadakan pelatihan gratis penyusunan master plan dan studi kelayakan Smart Hospital bagi seluruh rumah sakit di Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan Presiden Perkumpulan Teknik Pelayanan-Kesehatan Indonesia (PTPI), Prof. Dr. Eko Supriyanto, P.H.Eng, melalui keterangannya, Minggu (19/10).
Kegiatan ini akan berlangsung di Gedung SMESCO Indonesia, Jakarta, pada 23–25 Oktober 2025.
Menurut Prof. Eko, program ini merupakan hasil kolaborasi lintas kementerian, melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta Kementerian Komunikasi dan Digital.
Adapun Perkumpulan Teknik Pelayanan Kesehatan Indonesia ditunjuk sebagai penyelenggara utama, bekerja sama dengan berbagai asosiasi profesi dan perguruan tinggi.
Kementerian Kesehatan mengundang pimpinan rumah sakit beserta unit terkait, termasuk bagian SDM, keuangan dan manajemen aset, untuk berpartisipasi dalam pelatihan ini.
– Hari pertama, peserta akan dibekali keterampilan penyusunan studi kelayakan dan master plan Smart Hospital, termasuk manajemen korporasi dan SDM.
– Hari kedua, fokus pelatihan diarahkan pada perencanaan sarana, prasarana dan alat kesehatan berbasis draft final Standar Smart Hospital dan revisi Permenkes Nomor 40 Tahun 2022.
– Hari ketiga, peserta akan dilatih menghitung kelayakan bisnis Smart Hospital, serta menyusun rencana penganggaran dan pengelolaan keuangan.
Sebagai penutup, peserta akan diperkenalkan dengan sistem digital otomatis yang dapat menghasilkan laporan studi kelayakan dan master plan Smart Hospital berdasarkan data kebutuhan dan kondisi aktual rumah sakit.
“Dengan pelatihan ini, rumah sakit diharapkan mampu menyusun studi kelayakan dan master plan Smart Hospital secara mandiri, sementara konsultan profesional hanya diperlukan untuk melakukan verifikasi hasil sistem digital. Pendekatan ini diyakini dapat menghemat biaya hingga ratusan juta rupiah bagi rumah sakit,” pungkasnya. (Red).
Bagi rumah sakit yang belum terdaftar, pendaftaran dapat dilakukan melalui situs resmi https://inahef.com atau melalui WhatsApp di +62 896-0579-9762 (Tia).
Pelatihan ini terbatas hanya untuk rumah sakit yang mendaftar dan hadir langsung di SMESCO Jakarta pada 23–25 Oktober 2025.
-
Pohukam7 days agoJaksa Agung Rotasi 73 Pejabat, Herlina Setyorini Promosi Asisten Pembinaan Pada Kejati Sumut
-
Kesehatan5 days agoKementerian Kesehatan dan BSN, Gelar Pelatihan Gratis untuk Seluruh Rumah Sakit di Indonesia
-
Kesehatan7 days agoReklasifikasi Rumah Sakit: Jumlah Tempat Tidur Menjadi RS Berbasis Kompetensi.
-
Kesehatan4 days agoIndonesia Tertinggal Dalam Memanfaatkan Lulusan Teknik Biomedika di Rumah Sakit
-
Pohukam6 days agoEks Napiter Sumsel, Tabur Bunga ke Taman Makam Pahlawan
-
Ekonomi4 days agoGerakan Koperasi Merah Putih: Menguatkan Ekonomi Rakyat dari Akar Rumput
-
Pohukam4 days agoSEMPRO, LMND dan Elemen Mahasiswa Banten Gelar Diskusi Evaluasi 1 Tahun Kinerja Pemerintahan Prabowo–Gibran
-
Kesehatan4 days agoMencari Jalan Keluar dari Defisit BPJS, Saatnya Inovasi Pembiayaan Kesehatan
