Ekonomi
BPH Migas Permudah Pemerintah Daerah Terbitkan Surat Rekomendasi

Surabaya, Jurnaljakarta.com — Terbitnya Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penerbitan Surat Rekomendasi untuk pembelian Jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP), merupakan upaya pengaturan, pengawasan penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi tepat sasaran, tepat volume, tepat manfaat sesuai peruntukannya. Pada saat bersamaan, beleid ini juga memberikan kemudahan bagi stakeholder dalam penerbitan surat rekomendasi.
Regulasi ini memuat petunjuk teknis yang lebih detail dan keseragaman dalam penerbitan surat rekomendasi untuk pembelian JBT Minyak Solar dan JBKP Pertalite oleh penerbit surat rekomendasi. Hal ini diharapkan semakin memberikan kemudahan kepada konsumen pengguna melalui surat rekomendasi untuk dapat mengakses energi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Peraturan BPH Migas Nomor 2 Tahun 2023 merupakan penyempurnaan dari Peraturan BPH Migas Nomor 17 Tahun 2019, yang semula hanya mengatur penerbitan surat rekomendasi untuk pembelian Minyak Solar namun kini mengatur juga terkait surat rekomendasi untuk pembelian Pertalite,” ujar Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman, di Forum Komunikasi Stakeholder bertajuk Sosialisasi Peraturan BPH Migas Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penerbitan Surat Rekomendasi untuk Pembelian JBT dan JBKP di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (27/10/2023).
Pengurusan berkas permohonan rekomendasi menjadi lebih sederhana dan tidak dipungut biaya. Peraturan ini juga memberikan fleksibilitas bagi konsumen pengguna dengan perubahan jangka waktu pemberlakuan surat rekomendasi dari 1 bulan menjadi 3 bulan dan maksimal 3 bulan untuk konsumen pengguna nelayan, serta dapat diwakilkan pengurusan dan pengambilannya kepada salah satu konsumen pengguna yang termasuk daftar kolektif dengan memberikan surat kuasa yang sah.
“Kita membuka kesempatan di peraturan terbaru, sehingga mudah dipahami oleh pemerintah daerah. Seperti menggunakan sistem digitalisasi, sehingga surat rekomendasi bisa lebih cepat diterbitkan,” ungkap Saleh.
Saleh juga menjelaskan lebih lanjut bahwa peraturan ini merespon dinamika terkini di lapangan dalam hal penyaluran JBT dan JBKP. Dukungan terhadap kelompok produkif penerima manfaat, harus dipastikan mendapat kecukupan pasokan BBM subsidi. “Oleh karenanya, pencatatan dan pelaporan penerbitan rekomendasi menjadi poin penting. Peraturan ini menjamin tertib pelaksanaan penerbitan, pelaporan, monitoring dan evaluasi surat rekomendasi untuk pembelian JBT dan JBKP,” jelasnya.
Sementara, Komite BPH Migas Wahyudi Anas mengutarakan, Surat Rekomendasi adalah surat yang diterbitkan untuk pembelian Jenis BBM Tertentu Solar atau Jenis BBM Khusus Penugasan Pertalite dalam volume dan periode tertentu kepada Konsumen Pengguna. BPH Migas terus melakukan upaya perbaikan dan memanfaatkan teknologi informasi untuk memudahkan stakeholder dalam menerbitkan surat rekomendasi. Tujuannya, akan ada keseragaman data dan dokumen dalam penerbitan surat rekomendasi.
Surat Rekomendasi akan dilengkapi dengan QR Code sebagai rujukan Pembelian BBM JBT Solar dan JBKP Pertalite di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Volume dalam Surat Rekomendasi menjadi kepastian kebutuhan BBM Subsidi dan Kompensasi Negara pada Masyarakat yang terdokumentasi di Pemerintah Daerah terkait, Badan Usaha Penugasan dan BPH Migas.
“Pemerintah Daerah terkait juga akan dapat mengevaluasi produktivitas hasil sumber daya alam yang menjadi produk unggulan wilayahnya, sehingga dapat menggerakan Perekonomian di tingkat daerah,” imbuh Wahyudi.
Dirinya menjelaskan bahwa konsumen pengguna yang dimaksud dalam beleid ini adalah konsumen pengguna akhir yang berhak mendapatkan Jenis BBM Tertentu Solar atau Jenis BBM Khusus Penugasan Pertalite sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Konsumen pengguna JBT Solar dan JBKP Pertalite terbagi 5 jenis, yaitu pertama Usaha Mikro/UMKM (mesin perkakas yang motor penggeraknya JBT/JBKP). Kedua, Usaha Perikanan yaitu untuk JBT adalah nelayan dengan kapal sampai dengan 5 Gross Tonage (GT) yang terdaftar, kapal 5-30 GT yang terdaftar dan pembudi daya ikan skala kecil. Untuk JBKP yaitu nelayan dengan kapal sampai dengan 5 GT, pembudi daya ikan skala kecil, genset daya sampai dengan 15.000 watt dan pompa air daya sampai dengan 24 PK.
Ketiga, Usaha Pertanian yaitu tanaman pangan, holtikultura dan perkebunan maksimal luas 2 hektar, diusahakan perseorangan dan kelompok tani. Selain itu, usaha pelayanan jasa alat, dan mesin pertanian yang melakukan usaha tanaman pangan, holtikultura dan perkebunan luas maksimal 2 hektar. Juga, peternakan pengguna mesin pertanian.
“Keempat, Transportasi yaitu transportasi air yang menggunakan motor tempel untuk angkutan umum/perseorangan. Kelima, Pelayanan Umum yaitu untuk penerangan krematorium (juga untuk pembakaran) dan tempat ibadah, panti asuhan dan panti jompo, serta rumah sakit tipe C, D, dan Puskesmas,” jelasnya
“Konsumen pengguna dilarang memberikan, memindahtangankan, atau mengalihkan Surat Rekomendasi. Solar dan Pertalite tidak boleh diperjualbelikan kembali. Ada sanksinya, yaitu pencabutan surat rekomendasi dan/atau Pidana serta denda sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” tegas Wahyudi.
Pemerintah Daerah juga memiliki peran penting agar pelaksanaan penerbitan Surat Rekomendasi ini berjalan dengan baik. “Dalam pelaksanaannya, BPH Migas tentu tidak sendiri. Kolaborasi apik dengan Pemerintah Daerah melalui Kepala Perangkat Daerah yang berhak menerbitkan Surat Rekomendasi serta Badan Usaha Penugasan menjadi kunci,” ujar Wahyudi.
Dia juga mengatakan bahwa Sosialisasi peraturan ini terus digalakkan oleh BPH Migas di berbagai wilayah di Indonesia, harapannya penyaluran JBT Solar dan JBKP Pertalite melalui surat rekomendasi tepat sasaran kepada konsumen yang berhak.
“Usai acara ini, Bapak dan Ibu jangan ragu untuk menghubungi BPH Migas. Kami siap membantu melakukan asistensi terkait penerbitan surat rekomendasi ini. Kami siap hadir. Silakan hubungi helpdesk BPH Migas di 0812-3000-0136,” pungkasnya.
Kegiatan hari ini dihadiri oleh Direktur BBM BPH Migas Sentot Harijady BTP, Retail Subsidy Management PT AKR Corporindo Tbk Rizky Febrian M, Sales Area Manager PT Pertamina Patra Niaga Surabaya Muhammad Ivan Syuhada, perwakilan Polda Jatim, serta pemerintah daerah Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara.
Ekonomi
Presiden Jokowi Bersama Kepala NFA dan Dirut Bulog Pastikan Penyaluran Bantuan Pangan Beras Tepat Sasaran Hingga Ke Ujung Timur Indonesia

BIAK NUMFOR, jurnaljakarta.com – Bantuan pangan beras tahap kedua yang diluncurkan sejak September ke seluruh penjuru Indonesia, terus menjadi atensi pemerintah. Distribusi bantuan yang tepat sasaran dan tepat waktu, terutama yang menyasar ke Indonesia bagian timur menjadi tantangan sekaligus salah satu indikator keberhasilan.
Demi memastikan hal itu, Presiden Joko Widodo yang didampingi Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso, bersama-sama menyaksikan langsung perkembangan penyaluran bantuan pangan beras di Biak Numfor, Papua, pada Rabu (22/11/2023).

“Ini nanti Ibu dan Bapak akan mendapatkan (bantuan pangan beras) nanti lagi di bulan Desember. Kemudian dilanjutkan lagi di Januari Februari Maret (tahun depan). Setuju tidak? Jadi November dapat (bantuan pangan beras) 10 kg, Desember dapat 10 kg, Januari 10 kg, Februari Maret (begitu juga),” kata Presiden Jokowi.
“Ini memang yang mendapatkan, memang yang sudah dapat PKH (Program Keluarga Harapan) dan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai). (Bagi yang belum terdaftar) Nanti Bapak Ibu bisa mengajukan ke RT/RW setempat untuk masuk data tambahan (bantuan pangan beras),” jawab Presiden Jokowi saat ditanya salah satu Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang hadir.
Sementara itu, Kepala NFA Arief Prasetyo Adi menimpali maklumat Presiden tersebut dengan mengatakan bahwa penyaluran bantuan pangan beras ini senantiasa dipastikan tepat sasaran dan tepat waktu. Kondisi geografis dan sosial masyarakat yang beragam di tiap daerah memang menjadi tantangan yang harus ditangani selama proses penyaluran.
“Mengenai database penerima bantuan pangan beras di tahun ini sudah by name by address. Dengan data mendetail seperti ini, kita ingin bantuan pangan beras dapat tepat sasaran dan tepat waktu. Jadi bisa dilacak ke siapa, kapan, dan dimananya. Dengan ini aspek governance dapat terus terjaga,” ucap Arief.

“Performa Bulog dan para transporter untuk wilayah dengan kondisi menantang seperti di Papua ini, patut kita apresiasi. Tentunya dengan selalu berkolaborasi dengan Kementerian Perhubungan, pemerintah daerah, Satgas Pangan Polri, dan stakeholder lainnya adalah kunci keberhasilan ketersampaian bantuan pangan beras ini ke masyarakat,” imbuhnya.
Sebagaimana diketahui, dalam penyaluran bantuan pangan beras tahap kedua ini, Perum Bulog sebagai pengelola stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) bekerjasama dengan transporter untuk penyalurannya. Transporter yang terlibat antara lain PT Jasa Prima Logistik (JPL) yang juga merupakan anak perusahaan Bulog, PT Pos Indonesia (POS), PT Dosni Roha Logistic (DNR), dan PT Yasa Artha Trimanunggal (YAT). Dalam hal transporter untuk wilayah Papua ditangani oleh YAT.
Pada lokasi penyaluran bantuan pangan beras yang ditinjau Presiden hari ini, dihadiri sebanyak 1.000 KPM. KPM disini berasal dari berbagai distrik antara lain Biak Kota, Samofa, Andey, Oridek, Yawosi, Warsa, Padaido, Biak Utara, Biak Timur, Numfor Barat, Numfor Timur, Swandiwe, Orkeri, Biak Barat, Yendidori, dan Bondifuar.
Realisasi penyaluran bantuan pangan beras untuk Provinsi Papua sampai 21 November tercatat 1.710.460 kg dari total alokasi sampai November 3.375.240 kg. Sementara realisasi secara nasional telah mencapai 612.148.470 kg atau 95,59 persen dari total 640.388.820 kg.
“Kita pahami ada kendala akses transportasi dikarenakan kondisi geografis di Papua. Ini yang menjadi tantangan suatu distribusi, namun secara kolaboratif telah dibuktikan pada keberhasilan penyaluran bantuan pangan beras tahap pertama. Termasuk wilayah Papua, bantuan pangan beras tahap pertama telah dapat dirampungkan 100 persen,” beber Kepala NFA.
“Untuk itu, mari bersama-sama terus bergotong royong menuntaskan bantuan pangan beras yang akan kita lanjutkan di Desember ini. Lalu lanjut lagi sampai Juni 2024. Tentunya ini semua murni demi Merah Putih dan demi membantu masyarakat yang memang sangat membutuhkan, sehingga daya beli masyarakat dapat terus terkendali dengan baik,” ungkapnya.
Untuk diketahui, telah ada penurunan inflasi beras secara bulanan setelah adanya penyaluran bantuan pangan beras tahap kedua ini digulirkan. Pada September 2023, inflasi beras secara bulanan tercatat ada di 5,61 persen. Kemudian pada inflasi beras di Oktober 2023 menjadi menurun dengan angka 1,72 persen.
Lebih lanjut, kondisi harga beras medium di dalam negeri terpantau cenderung stabil. Menilik data dari Panel Harga Pangan NFA, pada 1 Oktober tercatat harga rata-rata semua provinsi untuk beras medium berada di angka Rp 13.220 per kg. Pada 21 November terlihat depresiasi 40 poin menjadi Rp 13.180 per kg.
Sementara itu tren depresiasi harga beras juga ditunjukkan di indeks harga beras dunia yang dirilis pada awal November ini oleh The Food and Agriculture Organization (FAO). Indeks harga beras dunia dilaporkan FAO rata-rata mencapai 138,9 poin pada Oktober 2023. Ini menurun 2,0 persen dibandingkan bulan September 2023. Akan tetapi masih tercatat 24,0 persen lebih tinggi dibandingkan bulan Oktober pada tahun lalu.
Dalam kegiatan Kepala Negara di Biak Numfor hari ini, turut hadir antara lain Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, dan Bupati Biak Numfor Herry Ario Naap.(***)
Ekonomi
Penarikan Cukai Plastik Malah Bisa Menghambat Pertumbuhan Ekonomi

Jurnaljakarta.com — Penarikan cukai plastik hanya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dan hanya menjadi beban bagi kalangan industri yang tengah bertumbuh saat ini. Karenanya, pemerintah perlu berhati-hati dalam pengenaan cukai plastik ini.
Hal itu menjadi benang merah acara diskusi publik bertajuk “Solusi Pengurangan Sampah Plastik di Indonesia, Cukai Plastik atau Pengelolaan Sampah yang Optimal?” yang diselenggarakan Forum Jurnalis Online (FJO) di Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk Jakarta, Selasa (21/11).
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, Ir. Reni Yanita M.SI, yang menjadi salah satu narasumber di acara tersebut mengatakan penarikan cukai plastik hanya akan berdampak negatif kepada pertumbuhan ataupun utilisasi industri dalam negeri yang sudah mulai bertumbuh saat ini, termasuk di dalamnya industri kecil menengah yang mencapai 99,7% dan industri makanan minuman yang jumlahnya hampir mencapai 1,68 juta unit usaha. Dia mengkhawatirkan, penarikan cukai plastik nantinya justru akan mengganggu sisi permintaannya yang pasti akan berkurang. “Ketika demand berkurang pasti kebutuhan yang ada akan diisi oleh produk impor yang cenderung lebih murah. Ini juga yang harus kita sikapi. Karena demand tetap ada tetapi konsumen pasti cenderung memilih harga yang lebih murah. Harga murah karena tidak ada pengenaan cukai di kemasan plastiknya,” ujarnya.
Dalam kaitannya dengan plastik, Kementerian Perindustrian melihatnya dari sisi lingkungan hidupnya. ”Kalau kita menganggap kemasan plastik, sebagai limbah, itu salah. Karena itu masih bisa diolah lagi bahkan bisa menjadi bahan baku,” tuturnya. Jika terhadap kemasan-kemasan plastik itu dikenakan cukai, menurut Reni, pasti ada koreksi di harga yang akan ditanggung oleh konsumen. Kemudian jika ada koreksi harga, lanjutnya, pasti permintaan akan terkoreksi juga. “Takutnya kita dengan kondisi seperti ini industri dalam negeri yang sudah tumbuh bisa terhambat,” tukasnya.
Dampaknya, kata Reni, bersiap-siap utilisasi industri nasional akan terkoreksi menjadi lebih rendah. Kemudian daya saingnya juga menjadi lebih rendah karena utilisasi menurun. “Ini akan diisi oleh pangsa impor. Impor juga bukan hanya di produk hilir yang kita hasilkan seperti produk makanan dan minuman dalam kemasan, ini akan diisi oleh produk impor dan juga untuk bahan bakunya,” ucapnya. “Padahal PR dari kita adalah bagaimana menumbuhkan lagi industri ini dari keterpurukannya pada dua tahun Covid, dan saat ini sudah mulai bergerak lagi tetapi ada wacana seperti ini. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya nanti untuk membangkitkan lagi industri kita yang sudah mulai tumbuh ini karena adanya penarikan cukai plastik ini,” tambahnya.
Dia menegaskan bahwa kemasan plastik itu bukan limbah karena bisa diolah lagi menjadi bahan baku untuk industri lainnya, termasuk di sini untuk industri berbasis sandang, karpet, kemudian ada juga industri alas kaki. “Dengan pengenaan cukai ini, industri daur ulang plastik kita akan kekurangan bahan baku karena memang di industri dalam negerinya juga terkoreksi,” ungkapnya.
Dia menegaskan yang namanya penerimaan negara, dalam hal ini cukai seharusnya dioptimalkan penggunaannya untuk kemakmuran dan juga untuk pertumbuhan industri yang saat ini masih menjadi kontributor utama dalam pertumbuhan ekonomi. “Jadi, perlu dipertimbangkan, perlu dipikirkan dampak dari cukai. Kemudian penerimaan negara dari cukai ini akan dikelola dengan baik untuk kemakmuran juga. Yang namanya pengenaan cukai bukan strategi yang utama atau yang prioritas menurut kami. Karena yang kendala bagi kita adalah pengelolaan sampahnya, walaupun di beberapa perkantoran ataupun masyarakat kita sudah mengenal ada pemisahan sampah, tetapi begitu di tempat pembuangan akhir siapa yang mengawal. Apakah kita sudah menyiapkan untuk yang bahan organik dikelola seperti apa, kemudian yang anorganik seperti apa,” katanya.
”Jadi sekali lagi kami hadir di sini sebenarnya untuk meyakinkan bahwa pengenaan cukai bukan kata terakhir, tetapi kita bisa melakukan diskusi, kita bisa melakukan FGD seperti ini, kemudian kami meyakinkan bahwa sampai saat ini memang kemasan plastik lah yang memang masih efisien dalam kita mengemas suatu makanan ataupun produk-produk industri lainnya termasuk kosmetik. Karena, mengurangi ataupun kepedulian kita terhadap lingkungan bukan satu-satu diselesaikan dengan pengenaan cukai. Tetapi kita juga harus melihat bahwa kemasan plastik ini sebenarnya ada kegiatan bisnis yang bisa kita ciptakan,” tukas Reni.
Pada acara yang sama, Direktur Pengelolaan Sampah, Ditjen PSLB3, Kementerian LHK, Dr. Novrizal Tahar, menjelaskan ada yang belum beres dalam hal persoalan sampah terkait waste management. “Memang belum beres. Jadi, kalau di data kita, pengolahan sampah mungkin baru 60 persen yang kita anggap (terkelola) secara baik dan benar. Dan masih ada mungkin sekitar 40 persen itu memang masih terbuang ke lingkungan dan menjadi persoalan,” ungkapnya.
Narasumber lainnya, Anggota Komite Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ir. Rachmat Hidayat, M. Sc, juga menyampaikan pengendalian sampah plastik itu seharusnya dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan cost dan benefit. Menurutnya, penarikan cukai plastik ini akan memicu terjadinya kenaikan harga yang otomatis akan menyebabkan permintaan turun. Permintaan turun, lanjutnya, pendapatan dan sebagainya juga turun. “Kami sepakat yang disampaikan Ibu Dirjen (Reni) dan Bapak Direktur bahwa cukai itu salah satu pilihan pilihan, tapi untuk saat ini adalah bukan pilihan pertama. Ada pilihan lain yang lebih baik kita ambil yang ongkosnya tidak sebesar itu, misalnya pengelolaan sampah yang lebih baik,” katanya.
Menurut Rachmat, dari riset Indef 2015 dijelaskan bahwa setiap 1,76% penurunan industri makanan-minuman akan berkontribusi terhadap hilangnya pendapatan secara nasional sebesar 6,79 triliun dan ini berkorelasi dengan hilangnya lapangan pekerjaan sebanyak 280.000 orang. Selain itu pendapatan pemerintah berupa pajak pasti turun, baik pajak penghasilan maupun pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai, tambahnya. Itu baru satu contoh dari satu sektor industri makanan dan minuman saja. Artinya, harapan kita kondisi persampahan lebih baik melalui cukai, yang terjadi malah ongkosnya yang harus kita tanggung sangat besar.
“Apindo memandang cukai plastik bukanlah pilihan yang tepat untuk saat ini diambil. Karena, ekonomi nacional kita memerlukan pertumbuhan yang salah satunya didorong oleh pertumbuhan industri. Industri kita perlu lebih maju lagi agar bonus demografi Indonesia bisa dimanfaatkan untuk pertumbuhan ekonomi nasional dan kita masih punya banyak ruang untuk meningkatkan pengelolaan sampah kita,” tegas Rachmat.
Hal senada disampaikan para penaggap seperti General Manager Indonesia Packaging Recovery Organisation (IPRO), Zul Martini Indrawati, Direktur Pengembangan Bisnis Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas), Budi Susanto Sadiman, Wakil Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), Justin Wiganda.
Sementara, penanggap lainnya yaitu Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan berdasarkan kajian yang dilakukan Indef, penarikan cukai plastik ini akan menurunkan pertumbuhan ekonomi misalnya dari yang harusnya tumbuh 6 persen, tetapi karena ada kebijakan ini tidak jadi 6 persen tapi hanya 5,9 persen. “Artinya, ada potensi pertumbuhan yang terbuang,” tuturnya.
Menurut perhitungan Indef, kalau mengenakan cukai pada kemasan plastik dampak itu tidak hanya di industri kemasan plastik atau sejenisnya saja, tapi juga industri terkait yang menggunakan dan justru itu nilainya lebih besar. Sebagai contoh pengguna kemasan plastik FMCG, mereka juga akan terdampak secara ekonomi karena produk makanan dan kebutuhan sehari-hari salah satu input produksinya adalah kemasan plastik. “Nah, ketika terjadi kenaikan harga input, sebagai pengusaha atau produsen, apabila harga input mengalami kenaikan meskipun nanti akan dibebankan kepada konsumen, tetapi estimasinya konsumen ini akan merespon dengan menyesuaikan konsumsinya yang pada akhirnya akan direspon juga oleh industri di hulunya,” katanya.
Jadi, lanjutnya, ketika FMCG-nya mengalami kenaikan harga, salah satu input produksi atau bahan penolongnya akan direspon dengan penyesuaian terhadap berapa jumlah yang akan diproduksi, berapa tenaga kerja yang direkrut dan berapa keuntungan dari penjualannya. “Sehingga, memang dari akumulasi dampak ini maka akan menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi. Meski kecil dalam value tapi tetap saja ini besar bagi industri di tingkat mikro. Jadi, yang perlu dilihat lagi adalah berapa yang diterima pemerintah kalau menerapkan cukai kemasan plastik ini. Yang saya yakin, di awal mungkin tidak terlalu besar, sekitar 1-2 triliun. Tetapi, kerugian dan dampak ekonomi itu lebih dari apa yang diterima pemerintah,” ucapnya.
Ekonomi
Penerapan Kebijakan Cukai Plastik Akan Berdampak Pada Penurunan Daya Beli Masyarakat

Jurnaljakarta.com — Penerapan cukai plastik akan sangat berdampak pada industri khususnya bagi IKM. Hal itu terjadi karena cukai akan memicu kenaikan harga produk sehingga daya beli masyarakat akan turun.
Demikian hal tersebut dikatakan Dirjen Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Reni Yanita dalam paparannya pada Diskusi Publik bertajuk “Solusi Pengurangan Sampah Plastik di Indonesia, Cukai Plastik atau Pengelolaan Sampah yang Optimal” di Hotel Santika Gajah Mada Jakarta, Selasa (21/11/2023).
Menurutnya penerapan cukai plastik dapat berakibat industri akan melakukan penyesuaian jumlah produk yang beredar sehingga hal tersebut bisa memicu naiknya produk impor dengan alasan penyesuaian daya beli masyarakat. Dari sisi konsumsi plastik per kapita di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lain yaitu hanya 22,5 kg/ kapita.
“Saat ini kita tidak perlu membatasi konsumsi (plastik), jadi kalau ada cukai maka akan berdampak pada harga meski itu dibebankan ke konsumen tetapi itu akan menurunkan permintaan,” ucap Reni.
Dia menegaskan bahwa cukai plastik untuk saat ini bukan menjadi strategi utama dan pertama bagi pemerintah untuk menambah pundi-pundi penerimaan negara sekaligus mengendalikan dampak lingkungan dari konsumsi plastik. Menurutnya yang perlu dioptimalkan adalah memaksimalkan pengelolaan sampah terutama yang berasal dari plastik untuk bisa didaur ulang menjadi produk yang lebih bernilai.
“Pengenaan cukai bukan hal utama karena yang utama adalah pengelolaan sampahnya meski sudah kita kenal ada pemisahan sampah tapi begitu di TPA (tempat pembuangan akhir) siapa yang kawal,” ulasnya.
Hal senada disampaikan oleh anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Rachmat Hidayat mengingatkan bahwa pemerintah sebaiknya untuk berhati-hati dalam menerapkan wacana pengenaan cukai kemasan plastik yang rencananya akan diterapkan di tahun 2024. Dinilai penerapan cukai plastik ini bisa memicu penurunan tingkat konsumsi masyarakat atau konsumsi rumah tangga sehingga pertumbuhan ekonomi akan terancam turun,” ujar Rachmat.
Menurutnya selama ini kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi masih menjadi yang terbesar dari sisi kelompok pengeluaran. Sementara konsumsi rumah tangga tersebut lebih banyak terjadi pada produk – produk FMCG (Fast Move Consumers Goods) dimana produk tersebut mayoritas menggunakan plastik.
“Belanja untuk produk makanan dan minuman (konsumsi rumah tangga) itu kontribusi terhadap PDB sekitar 50,8 persen yang notabene adalah terkait produk FMCG, artinya kalau konsumsi turun maka ekonomi pasti akan melambat,” ujarnya.
Dikatakannya, pengenaan cukai plastik akan berimbas pada peningkatan harga produk yang menggunakan plastik. Akibatnya inflasi naik dan masyarakat akan melakukan penyesuaian konsumsi dengan menurunkan tingkat konsumsinya. Hal ini berdampak pada produktivitas industri sebagai produsen termasuk akan berimbas pada kebutuhan tenaga kerja.
“Cukai plastik untuk saat ini bukan pilihan pertama, masih ada pilihan yang lain yang bisa diambil dengan risiko yang jauh lebih rendah,” sambungnya.
Ekonom INDEF (Institute for Development, of Economics and Finance), Ahmad Heri Firdaus membenarkan pengenaan cukai plastik yang rencananya akan diimplementasikan pemerintah pada tahun 2024 mendatang menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi.
Implementasi cukai plastik hanya berdampak kecil bagi penerimaan negara namun di saat yang sama kita berisiko akan kehilangan lebih banyak dari nilai produk industri. Parahnya kebijakan ini juga berpotensi terhadap kenaikan inflasi.
Apabila ditimbang-timbang antara manfaat dan risiko, kebijakan ini akan jauh mendatangkan risiko bagi perekonomian nasional.
“Cukai kemasan plastik dampaknya tidak hanya industri saja tapi juga industri penggunanya. Mereka akan terdampak secara ekonomi karena akan terjadi kenaikan harga input (bahan baku),” ujar Heri. (Red)
-
Pohukam6 days ago
Netralitas Prajurit TNI AU Sambut Tahun Pilitik Perkuat Demokrasi
-
Pendidikan6 days ago
Pushidrosal Gelar Pelatihan Almanak Nautika di Observatorium Bosscha F-MIPA ITB Bandun
-
Pohukam5 days ago
KRI SPICA – 934 Tuntaskan Misi Latma CHSE dan Opsurta Hidros Perairan ZEEI Tenggara Pulau Timor
-
Energi dan Pertambangan6 days ago
Presiden Resmikan Proyek Tangguh Train 3 dan Ground Breaking Proyek UCC, AKM dan Blue Amonia di Papua Barat
-
Nasional4 days ago
Cinta Palestina Rumah Zakat Berikan Sertifikat Infaq kepada Relawan Kemanusiaan Indonesia
-
Energi dan Pertambangan4 days ago
Dihadiri Presiden, PLN Sukses Layani Listrik Sail Teluk Cendrawasih 2023 di Biak, Papua Tanpa Kedip
-
Pohukam2 days ago
Ketua PH PHDI Provinsi Jawa Barat, Membuka kegiatan Margarana Cup Tahun 2023 Wilayah Bandung Raya
-
Pohukam3 days ago
Ketua PH PHDI Jawa BaratMembuka Lokasabha III PHDI Wilayah III Cirebon