Pohukam
Hak Tanggungan Pemenang Lelang, Pemohon: MK Harus Kabulkan Gugatannya
Siti Aisyah, Pemohon dalam Sidang Pemeriksaan Pebaikan Permohonan Perkara 208/PUU- XXIII/2025 di MK , Kamis (20/11/2025). (Foto Humas/Hamdi)
JURNALJAKARTA.COM, – Siti Aisah, selaku Pemohon yang menguji Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang perbaikan permohonan dalam Perkara Nomor 208/PUU-XXIII/2025, pada Kamis (20/11/2025) di Ruang Sidang MK, yang dipimpin Ketua MK, Suhartoyo.
Agenda Sidang kali ini penyampaian perbaikan dalil Pemohon Siti Aisah yang menilai Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UU Hak Tanggungan bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 karena dianggap mengurangi perlindungan hak milik pemenang lelang.
Menurutnya, objek lelang sering masih dikuasai debitur sehingga membuka peluang sengketa dan memperlambat pelaksanaan eksekusi.
“Penjelasan tersebut khususnya tentang lelang hak tanggungan dianggap tidak memberikan perlindungan bagi pemenang lelang selaku pemilik harta benda pribadi karena objek lelang masih dalam kekuasaan debitur dan memberikan ruang kesempatan kepada debitur untuk sewenang-wenang menguasai harta benda pemenang lelang dengan melakukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada pemenang lelang demi memperpanjang waktu untuk objek lelang. Padahal, konstitusi menjamin perlindungan hak milik dan harta benda pemenang lelang,“ ujarnya.
Pemohon juga menyampaikan bahwa, ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi.
Lebih lanjut, Pemohon menilai Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) berpotensi ditafsirkan hanya memberikan kewenangan eksekusi penjualan kepada kreditor tanpa mencakup eksekusi pengosongan objek lelang. Kondisi ini dianggap bertentangan dengan asas pengayoman, keadilan, kemanusiaan, dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.
“Dengan demikian, dengan sepatutnya Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 patut ditafsirkan untuk sampai ke tahap pelelangan umum. Pemegang hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial untuk mengeksekusi objek hak tanggungan dan pengosongan objek hak tanggungan,” jelasnya.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 6 UU UU HT tidak memberikan perlindungan hukum terhadap pembeli lelang yang beritikad baik. Pemohon menilai ketentuan tersebut hanya menguntungkan pihak bank atau kreditur, sementara pembeli lelang justru harus menanggung beban hukum dan administratif setelah proses lelang selesai.
Pemohon menegaskan bahwa, permohonannya tidak bersifat ne bis in idem, sebagaimana diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 7 Tahun 2025.
Ia juga menyebut, beberapa perkara serupa yang pernah diputus MK, di antaranya Putusan Nomor 97/PUU-XXIII/2025, Putusan Nomor 70/PUU-VIII/2010, Putusan Nomor 84/PUU-XVIII/2020, dan Putusan Nomor 21/PUU-XVIII/2020.
Dalam permohonannya, Pemohon mempersoalkan frasa “Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri” sebagaimana dimuat dalam Pasal 6 UU Hak Tanggungan. Menurutnya, frasa “kekuasaan sendiri” bersifat ambigu dan menimbulkan ketidakpastian hukum, karena dapat dimaknai bank hanya menguasai sertifikat jaminan, bukan objek tanah di lapangan.
Pemohon merupakan pemenang lelang atas jaminan Bank BRI Cabang Slawi, Kabupaten Tegal, yang perkaranya berlanjut hingga tingkat banding dan Kasasi. Namun, hingga seluruh proses hukum selesai, objek lelang masih dikuasai oleh debitur. Kondisi ini menyebabkan Pemohon menghadapi berbagai gugatan hingga ke Mahkamah Agung, yang menurutnya menguras waktu, tenaga, dan biaya, meski ia merupakan pembeli beritikad baik.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 6 dan Penjelasan Pasal 6 UU Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Untuk sampai kepada tahap pelelangan umum harus didahului dengan eksekusi atas objek hak tanggungan dan pengosongan objek hak tanggungan,” pungkasnya. (Red/Hms MK).
Pohukam
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Mengapresiasi Kinerja Polri
JURNALJAKARTA.COM – Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati Tangka, tegas menolak revisi Undang-Undang (RUU) Polri. Pasalnya, UU yang saat ini berlaku telah mengatur semua hal terkait Kepolisian dengan kajian matang.
Menurutnya, hanya diperlukan pelaksanaan serta pengawasan yang diperkuat sehingga dapat berjalan optimal.
“Jika ingin merevisi, tidak perlu dalam segi undang-undang menurut saya. Bagaimana institusi Kepolisian ini diperbaiki di dalam. Itu saja, tidak perlu melalui revisi undang-undang,” ujar Mike melalui keterangannya, Jum’at (21/11/2025).
“Bagaimana kebijakan teknis, regulasi operasional, yang itu memperkuat institusi Polri,” sambungnya.
Mike menuturkan, pembenahan Polri bukan dengan merubah undang-undang melainkan sanksi yang dijatuhkan terhadap pelanggaran harus jelas dan tegas. Langkah itu dinilainya lebih solutif dari segi pembinaan maupun efek jera, demikian juga dengan reward yang diberikan secara obyektif kepada anggota Polri yang berprestasi, sehingga perbaikan bisa benar-benar terjadi dari dalam yang secara perlahan namun pasti, akan dirasakan oleh masyarakat luas.
“Pengaturan sudah cukup kuat,” ucapnya.
Tak hanya itu, kata Mike, perbaikan juga bisa dilakukan dengan cara pemberian kewenangan pengawasan terhadap kinerja Kepolisian kepada masyarakat.
“Bagaimana institusi Kepolisian ini imputable. Bukan Cuma Polisi, masyarakat umum bisa men-tracking apa saja misalnya yang sudah dikerjakan Polisi, termasuk indikasi-indikasi korupsi. Bagaimana ini saja yang dikuatkan,” tuturnya.
Jika tetap revisi dilakukan, kata Mike, hal-hal tadi saja yang perlu diperkuat. Bagaimana institusi kepolisian menjalankan mandatnya dan mengurangi persoalan korupsi di tubuh Polri.
“Kita butuh penegakan hukum yang kuat. Sudah bukan alasan lagi untuk tidak berbenah diri,” papar Mike.
Jika revisi UU Polri dilakukan, ia tak ingin hal itu melenceng dari konstitusi. Terutama terkait peran dan fungsi dari Polri. “(Revisi harus) Dikembalikan sesuai yang ditetapkan oleh konstitusi kita, UUD 1945. Bagaimana peran Polri sesuai konstitusi. Polri secara resmi telah membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri yang termaktub sesuai Surat Perintah (Sprin) Kapolri Nomor Sprin/2749/IX/2025 tertanggal 17 September 2025. Hal ini merupakan tindak lanjut Polri untuk bekerja sama dengan Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait, melalui pendekatan sistematis. Tujuan pembentukan tim tersebut untuk mengelola transformasi institusi guna mencapai proses dan tujuan akselerasi transformasi Polri sesuai dengan harapan masyarakat. Proses dan tujuan mendasar dan luas yang melibatkan seluruh satuan kerja dan wilayah berdasarkan visi strategis (Grand Strategy Polri 2025 -2045),” pungkasnya.
Saat ini peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri yang tembus 76,2 persen dalam survei Litbang Kompas edisi Oktober 2025 menuai apresiasi. Angka ini dinilai sebagai bukti bahwa reformasi di tubuh Kepolisian mulai benar-benar dirasakan masyarakat. (Red).
Pohukam
Forum Mahasiswa Tangsel, Bahas Ancaman Militerisasi dan Masa Depan Supremasi Sipil
Tangsel, Jurnaljakarta.com – Serikat Mahasiswa Tangerang Selatan menggelar diskusi publik bertema “Semangat Reformasi dalam Memaknai Supremasi Sipil” pada Rabu (19 Oktober 2025), di Warkop Lapan, Ciputat, Tangerang Selatan.
Forum ini menjadi ruang bagi mahasiswa dan publik untuk membahas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi 1998, khususnya terkait hubungan antara kekuasaan sipil dan militer.
Acara menghadirkan beberapa pembicara, di antaranya Robi Sugara, M.Sc, Dosen FISIP UIN Jakarta dan Darryl Oktavian dari Mahardika perwakilan dari Extinction Rebellion Indonesia.
Turut muncul dalam perbincangan sebagai bentuk penegasan sikap kritis terhadap isu-isu aktual hubungan sipil–militer.
Dalam forum tersebut, para pembicara menekankan pentingnya menjaga semangat reformasi yang mengukuhkan supremasi sipil sebagai pilar demokrasi. Reformasi 1998 dipaparkan kembali sebagai tonggak perubahan yang menuntut militer tunduk pada hukum dan berada di bawah kendali institusi sipil.
Para narasumber menilai bahwa, terdapat indikasi kemunduran semangat reformasi, terutama melalui meningkatnya intervensi militer di ruang-ruang sipil serta menguatnya praktik politik dinasti. “Kondisi ini dinilai berpotensi menggeser keseimbangan kekuasaan dan mengancam perlindungan hak-hak sipil serta mekanisme checks and balances,” tandasnya.

Menurutnya, isu utama yang menjadi sorotan forum adalah kebijakan yang membuka peluang perwira aktif menduduki jabatan sipil. “Kebijakan tersebut dianggap dapat melemahkan prinsip supremasi sipil dan meningkatkan risiko kemunduran demokrasi. Karena itu, peserta mendorong evaluasi kebijakan, penguatan kontrol sipil atas militer, serta perbaikan hubungan sipil–militer secara kelembagaan,” ujarnya.
Forum juga menekankan pentingnya peran aktor-aktor sipil—termasuk pemerintah, legislatif, lembaga yudikatif, hingga organisasi masyarakat sipil—dalam memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan HAM. Komitmen terhadap independensi hukum, transparansi pemerintahan, dan partisipasi publik dinilai sebagai syarat mutlak untuk menjaga supremasi sipil.
Beberapa poin penting yang muncul dari diskusi, antara lain:
– Supremasi sipil tetap menjadi fondasi demokrasi pasca-Reformasi, namun membutuhkan konsistensi dalam penegakan hukum.
– Militerisasi ruang publik disebut berpotensi meningkat bila tidak disertai mekanisme pengawasan yang kuat.
– Penguatan sistem checks and balances, reformasi politik yang inklusif dan peningkatan literasi publik mengenai hak sipil diperlukan untuk menjaga kualitas demokrasi.
– Forum turut merumuskan sejumlah rekomendasi, seperti pembatasan jabatan militer pada fungsi pertahanan, peningkatan transparansi kebijakan keamanan, serta penguatan lembaga pengawas hubungan sipil–militer—termasuk lembaga yudikatif dan komisi HAM.
Dialog publik yang berkelanjutan juga dianggap penting untuk menjaga relevansi semangat reformasi.
Acara ditutup dengan penegasan bahwa, supremasi sipil merupakan indikator utama kualitas demokrasi Indonesia. Menjaga prinsip tersebut dinilai krusial untuk memastikan kebijakan negara tetap berpihak pada kepentingan rakyat dan menjamin perlindungan hak-hak warga negara. (Red).
Pohukam
Suarakan Aksi Dengan Damai, Tokoh Ultras Serukan Kritik Membangun PSSI
JURNALJAKARTA.COM – Suasana penuh kebersamaan terasa di Lapangan GBK, saat ratusan pendukung Indonesia dari berbagai daerah berkumpul dalam Mendukung Indonesia.
Ultras Garuda melakukan penuntutan terhadap PSSI saat bertemu dengan Ketua PSSI, Erick Tohir dan tuntutan tersebut tidak ditangapain sehingga ultras Garuda melakukan aksi unjuk rasa lanjutan Jum’at (14/11/2025) di depan kantor PSSI Jakarta

Melalui keterangannya, Sabtu (15/11), Tokoh Ultras Garuda Tangerang, Thomas mengatakan bahwa, harus dilakukan pembenahan di struktur PSSI Karena masih terdapat unsur politik di dalam PSSI dan perlunya Kebersihan di dalam Liga karena banyaknya mafia atau oknum didalam Liga.
Thomas juga mengatakan & berharap, kedepanya agar Ultras Garuda agar berstruktur dan tidak ada kepentingan lain dan hanya Fokus mendukung Indonesia karena kalau sudah mempunyai kepentingan lain pasti oknum hanya mengincar keuntungan diri sendiri.
Ia menekankan pentingnya menjaga netralitas dan kedewasaan dalam berorganisasi, terutama di tengah situasi sosial dan politik yang dinamis, jangan sampai adanya aksi anarkhis yang dapat memecah belah bangsa.
“Supporter dan politik kadang sulit dipisahkan, tapi kami memilih fokus mendukung Indonesia. Lebih baik membuat kegiatan positif daripada ikut arus politik,” tegasnya.
Selain memperkuat solidaritas, Thomas juga dapat menjadi sarana edukatif bagi para pelajar dan komunitas supporter agar menjauhi tindakan negatif seperti tawuran, aksi anarkhis. Menurutnya, semangat sportivitas harus menjadi bagian dari budaya generasi muda.
Dalam kesempatan itu, Thomas juga menyinggung kinerja satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Ia menilai, arah kebijakan nasional, terutama yang berkaitan dengan dunia olahraga, mulai menunjukkan perkembangan positif.
“Banyak janji yang mulai ditepati. Memang belum sempurna, tapi arah kebijakan sudah cukup baik. Kami berharap ke depan lebih banyak perhatian untuk dunia sepak bola Indonesia dan suara-suara supporter,” tambahnya. (Red).
-
Pohukam6 days agoAktivis Umpam Mengutuk Keras Tindakan Provokasi dan Anarkisme Ditengah Aksi Massa
-
Pohukam6 days agoSuarakan Aksi Dengan Damai, Tokoh Ultras Serukan Kritik Membangun PSSI
-
Daerah2 days agoKomitmen Satpol PP Demak Perangi Pekat, Rutin Gelar Razia Hingga Penyegelan Tempat Karaoke & Sita Ratusan Miras
-
Pohukam2 days agoForum Mahasiswa Tangsel, Bahas Ancaman Militerisasi dan Masa Depan Supremasi Sipil
-
Pohukam51 mins agoSekjen Koalisi Perempuan Indonesia Mengapresiasi Kinerja Polri
-
REDAKSI38 mins agoPerspektif HAM dan Bioetik dalam Merawat Pasien Paliatif Menjunjung Otonomi dan Nilai Kemanusiaan
