Energi dan Pertambangan
SP PLN Apresiasi Komisi VII DPR RI Dengan Tegas Menolak Kebijakan Skema Power Wheeling
JURNALJAKARTA.COM — Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja (DPP SP) PT PLN (Persero) Abrar Ali mengapresiasi sikap Komisi VII DPR RI yang dengan tegas menolak kebijakan skema power wheeling yang terdapat dalam RUU EBET. Sikap ini sangat bijak dan mengandung nilai-nilai patriotik. Skema tersebut baiknya dihapuskan dari RUU EBET, karena lebih besar mudaratnya dibanding manfaatnya bagi negara dan masyarakat.
“Kita apresiasi sikap Pak Mulyanto (Anggota Komisi VII DPR RI) yang dalam pernyataannya dengan tegas menolak power wheeling yang ada dalam RUU EBET. Atas nama SP PLN, kita sampaikan terimakasih kepada beliau, karena beliau ternyata sangat respon terhadap suara yang kita sampaikan selama ini terkait permasalahan power wheeling yang memberi dampak negatif bagi negara dan masyarakat,” ungkap Abrar pada media di Jakarta, Rabu (18/9) menanggapi batalnya Raker Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM, pada Rabu (18/9) yang akan mengambil keputusan Tingkat I RUU EBET (Energi Baru Energi Terbarukan). Pembatalan tersebut dikarenakan DPR dan Pemerintah belum sepakat terkait norma tentang power wheeling.
Sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto, kepada media di Jakarta, pada Rabu (18/9) menyampaikan, pihaknya batal melakukan rapat dengan Kementerian ESDM dikarenakan belum sepakat terkait norma tentang power wheeling. Otomatis RUU EBET tersebut tidak dapat disahkan oleh DPR RI Periode 2019-2024. Selanjutnya, pembahasan RUU EBET akan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah periode mendatang. Dengan pembatalan tersebut, pembahasan RUU EBET bisa semakin matang, terutama terkait norma power wheeling. Bahkan sangat dimungkinkan untuk me-review pasal-pasal lain yang krusial. Mengingat pembahasan RUU EBET kemarin banyak yang diburu waktu.
Abrar mengungkapkan, pihaknya sangat sepakat dengan sikap dari Fraksi PKS tersebut, yang dengan tegas menolak power wheeling dalam RUU EBET, karena merupakan bentuk liberalisasi sektor kelistrikan serta tidak sesuai dengan konstitusi. Pemerintah harusnya mengedepankan kepentingan masyarakat daripada kepentingan segelintir pengusaha. Bila ketentuan power wheeling disetujui maka pihak swasta diperbolehkan untuk memproduksi sekaligus menjual listrik kepada masyarakat secara langsung, bahkan dengan menyewa jaringan transmisi PLN. Keadaan ini bisa melemahkan peran negara dalam penyediaan listrik bagi masyarakat. Dampaknya, harga listrik akan ditentukan oleh mekanisme pasar. “Seperti yang disampaikan Pak Mulyanto, listrik merupakan kebutuhan penting dan strategis bagi masyarakat, sesuai konstitusi harus dikuasai oleh negara. Jangan karena ingin tampil di kancah global, kebutuhan domestik dan national interest kedodoran,” ungkap Abrar.
Abrar juga menegaskan, terkait soal power wheeling baiknya tidak perlu lagi dimasukkan dalam RUU EBET, karena memilki nilai mudarat yang lebih besar dibanding manfaat yang akan diperoleh negara dan masyarakat. “Lebih besar mudaratnya dibanding manfaatnya bagi negara dan masyarakat. Jadi skema power wheeling baiknya tidak usah lagi dimasukkan dalam RUU EBET. Seperti yang sering kita sampaikan, skema power wheeling ini juga sangat tidak Pancasilais karena bertentangan dengan norma hukum dan konstitusi. Negara justru berlaku tidak adil dengan lebih memihak swasta, memberi kesempatan kepada para pemilik modal, atau bahkan investor asing menikmati keuntungan besar, namun pada saat yang sama menghisap rakyat untuk membayar energi listrik lebih mahal. Padahal, sesuai konstitusi, kesempatan tersebut harus diberikan kepada BUMN, yang menurut konstitusi adalah pemegang hak monopoli,” tandas Abrar. (***)
Energi dan Pertambangan
Sewa Jaringan Listrik di RUU EBET, Liberalisasi Terselubung Ala Pemerintah
JURNALJAKARTA.COM — Pernyataan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Eniya Listiani Dewi, yang menyatakan bahwa skema sewa jaringan listrik dengan nama lain pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT) dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) bukan merupakan bentuk dari pasar bebas (liberalisasi) industri listrik nasional, langsung mendapat respon menohok dari Ketua Umum DPP SP PT PLN (Persero) Abrar Ali, dengan menyebut bahwa pernyataan tersebut keluar karena ketidakpahaman arti liberalisasi dalam aspek hukum, konstitusi dan bisnis.
“Pernyataan tersebut sangat memprihatinkan dan sangat mencederai iklim demokrasi kita. Ini akibat ketidakpahaman arti liberalisasi dalam aspek hukum, konstitusi dan bisnis. Harusnya beliau (Eniya Listiani Dewi) memahami dulu dengan baik dan benar apa yang disebut dengan liberalisasi, baik secara hukum, konstitusi maupun bisnis, baru selanjutnya mengeluarkan pernyataannya. Bukan hanya berdasar pada kepentingan semata. Kita tetap menolak skema tersebut karena cacat secara hukum, konstitusi dan tidak berpihak pada ekonomi kerakyatan,” ungkap Abrar pada media pada Kamis (12/9) di Kantor PLN Pusat, menanggapi pernyataan Dirjen EBTKE Eniya Listiani Dewi soal RUU EBET yang disampaikan pada acara temu media di Jakarta pada Senin (9/9).
Alasannya, ungkap Abrar, pertama, skema PBJT itu sangat bertentangan dengan konstitusi, Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan sektor strategis menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Dalam hal ini diwakili BUMN sebagai pengelola. Jika skema tersebut diterapkan, otomatis penguasaan negara tidak terpenuhi karena sebagian beralih kepada swasta. Kedua, Putusan MK No. 36/2012 yang menyebut pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah BUMN/PLN, bukan swasta.
Ketiga, Putusan MK No. Putusan 001-021-022/PUU-I/2003, menyatakan bahwa kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling (dalam UU No.20/2002) mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945. Sehingga, sistem unbundling yang berisi skema tersebut juga inkonstusional, dan harus ditolak. Keempat, Putusan MK No.111/PUU-XIII/2015 menyatakan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dan unbundling bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan, listrik sebagai public utilities tidak bisa diserahkan ke mekanisme pasar bebas, karena para pihak mengambil keputusan berdasar pasokan dan permintaan.
Hal yang sama juga bila ditinjau dari sisi aspek ekonomi dan sosial politik, skema tersebut sangat merugikan masyarakat. “Pada Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, menjelaskan dalam mekanisme pasar bebas yang diuntungkan adalah pemilik modal dan yang terjadi adalah kerugian sosial pada masyarakat. Hal ini dapat berarti negara tidak lagi memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat yang hidup kekurangan secara ekonomi. Jelas skema tersebut sangat tidak pancasilais. Kalaupun ada pernyataan tambahan dari beliau (Eniya Listiani Dewi) menyebut PLN masih melakukan penguasaan lewat persetujuan harga sewa jaringan, dan bukan pasar bebas, menurut hemat kami, itu akal-akalan pemerintah saja, yang kita sebut sebagai liberalisasi terselubung ala pemerintah,” ungkap Abrar.
Abrar mengungkapkan, penerapan skema tersebut (pemanfaatan bersama jaringan transmisi/PBJT) jangan terlalu dipaksakan, karena akan sangat merugikan negara dan masyarakat kita sendiri. Kajian-kajian akan besarnya kerugian bagi pemerintah dan masyarakat atas dampak PBJT tersebut sudah banyak dilakukan. Namun pemerintah tidak pernah menggubrisnya.
Masih menurut Abrar, dalam membuat sebuah undang-undang, ada sejumlah aspek yang harus dilalui, yaitu, perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Proses pembentukan UU EBET juga harus mengikuti tahapan ini dengan memuat azas-azas keterbukaan, demokrasi, akuntabilitas dan partisipasi publik, agar sesuai aturan hukum dan konstitusi. Seperti Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2). Dan yang terpenting, Pasal 96 UU No.12/2011 (berubah jadi UU 15/2019) ayat (1): Masyarakat berhak memberi masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan UU. Ayat (2): Untuk memudahkan memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. “Karena itu, baiknya soal pengesahan RUU EBET tersebut ditunda dulu sampai benar-benar meyakinkan memberikan manfaat bagi masyarakat. Jangan karena kepentingan sesaat atau suatu kelompok segala cara dihalalkan,” ungkap Abrar.
Energi dan Pertambangan
SP PLN Tolak Kebijakan Penerapan Power Wheeling. Dinilai Hanya dapat Menimbulkan Dampak Negatif Pada Ketahanan Energi.
JURNALJAKARTA.COM — Serikat Pekerja (SP) PLN menolak wacana penerapan kebijakan power wheeling, yaitu sebuah konsep yang dinilai telah lama dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan. Skema yang menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) ini memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir.
Power Wheeling terdiri dari dua jenis transaksi, yakni Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling. Wholesale Wheeling terjadi ketika pembangkit listrik (baik milik swasta maupun negara) menjual energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah usahanya. Sementara, Retail Wheeling memungkinkan pembangkit listrik menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya.
Demikian hal tersebut diungkapkan Ketua Umum DPP SP PLN M Abrar Ali melalui keterangan persnya di Jakarta, Jumat (6/9/2024).
Dikatakannya, kedua model ini menggunakan jaringan transmisi dan distribusi sebagai “jalan tol” dengan skema open access, di mana semua pembangkit listrik dapat menggunakannya dengan membayar “toll fee.”
Namun demikian tuturnya, penerapan Power Wheeling dinilai dapat menimbulkan dampak negatif signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi.
Lebih lanjut Abrar Ali memaparkan analisis dampak Power Wheeling diantaranya sebagai berikut:
Dari sisi keuangan, skema Power Wheeling dinilali akan menyebabkan penurunan permintaan organik dan non-organik: Menurut hitungannya, Power Wheeling dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30% dan permintaan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50%. “Hal ini akan berujung pada lonjakan beban APBN karena biaya yang harus ditanggung negara,” ujarnya .
Setiap 1 GW pembangkit listrik yang masuk melalui skema Power Wheeling, kata Abrar, diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp3,44 triliun (biaya ToP + Backup cost), yang akan semakin memberatkan keuangan negara. Dampak akumulatif hingga 2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp317 triliun menjadi Rp429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp112 triliun.
Dari sisi hukum, lanjut Abrar, Power Wheeling kontradiktif dengan UU No. 20 Tahun 2022. “Power Wheeling merupakan implementasi dari skema MBMS yang melibatkan unbundling. Namun, hal ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004,” tegasnya.
Kemudian skema ini juga dinilai mereduksi peran negara karena akan menciptakan kompetisi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Hal ini berpotensi mengurangi peran negara dalam menjaga kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan.
Di menilai skema ini juga berpotensi menimbulkan perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik (blackout) dan merugikan masyarakat luas.
Dari sisi teknis, skema ini menurutnya akan mperparah oversupply. Saat ini, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami oversupply. Penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan tidak stabil.
Power Wheeling yang bersumber dari EBT, kata Abrar, memerlukan spinning reserve tambahan untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen.
Hal itu kemudian berdampak terhadap ketahanan energi. Dengan meningkatnya risiko blackout, kata dia, jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai. “Hal ini dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat,” tandasnya.
Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve, lanjut dia, akan meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta APBN.
Di bagian lain, dengan prioritas Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pada pembangunan pembangkit EBT sebesar 51,6%, menurut dia tidak ada urgensi untuk menerapkan Power Wheeling. Hal ini sesuai dengan rencana Net Zero Emission 2060 tanpa menambah risiko dari berbagai aspek.
“Konsep Power Wheeling dikhawatirkan akan digunakan dalam skema liberalisasi penyediaan listrik untuk kepentingan umum, yang pada akhirnya berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara,” kata Abrar.
Abrar pun mencontohkan studi kasus di Filipina terkait penerapan skema Power Wheeling dan privatisasi sektor ketenagalistrikan melalui Electric Power Industry Reform Act (Epira) pada tahun 2001. “Pengalaman Filipina ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan kebijakan Power Wheeling,” jelasnya.
Beberapa tantangan yang dialami Filipina yang perlu diperhatikan dalam konteks Indonesia menurutnya adalah kenaikan harga listrik. Sejak penerapan skema Power Wheeling, harga listrik di Filipina mengalami kenaikan sebesar 55%. Jika hal ini terjadi di Indonesia, masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah, akan menghadapi beban finansial yang berat, terutama jika harga listrik ditentukan berdasarkan mekanisme pasar.
Filipina, kata dia, juga menghadapi krisis energi dan sering mengalami pemadaman listrik setelah privatisasi sektor kelistrikan. Tantangan serupa bisa terjadi di Indonesia jika pasokan listrik tidak dijaga dengan baik, dan intermitensi dari pembangkit energi baru terbarukan dapat mengganggu keandalan sistem.
Selain belajar dari pengalaman Filipina, menurut dia Indonesia perlu menghadapi beberapa tantangan utama dalam implementasi Power Wheeling, di antaranya siperlukan kerangka hukum yang jelas dan tegas untuk memastikan kepastian hukum dalam hubungan antara PLN, produsen listrik swasta, dan konsumen. Regulasi yang tepat juga diperlukan untuk menghindari potensi pembentukan kartel di sektor ketenagalistrikan.
Power Wheeling juga membutuhkan investasi besar dalam pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan. Pemerintah harus memastikan adanya kepastian investasi yang cukup untuk mendorong minat produsen listrik swasta dalam berinvestasi.
Dengan skema Power Wheeling, Lanjutnya, tarif listrik akan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Ketika permintaan tinggi dan pasokan tetap, tarif listrik pasti naik, yang berakibat pada kenaikan subsidi listrik yang harus ditanggung oleh APBN.
Di bagian lain, kata Abrar, PLN harus menanggung beban tambahan dari spinning reserve dan intermitensi pembangkit energi baru terbarukan. Ini akan mempengaruhi biaya pokok produksi (BPP) listrik, yang dapat berujung pada kenaikan tarif listrik untuk konsumen atau peningkatan subsidi dari APBN.
“Intinya, penerapan Power Wheeling justru dapat merugikan BUMN, APBN, dan konsumen secara akumulatif. Oleh karena itu, Power Wheeling dinilai lebih sebagai benalu dalam transisi energi, yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi negara,” tutupnya.
Energi dan Pertambangan
SP PT PLN Selenggarakan Rakernas Th 2024, Wujudkan Visi Energi Berkelanjutan Dan Keadilan Sosial
JURNALJAKARTA.COM – Serikat Pekerja (SP) PT PLN (Persero) menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) Tahun 2024 dengan tema Mengawal Visi Energy Berkelanjutan dan Berkeadilan Sosial dengan Semangat Kolaborasi antara SP PLN dan Direksi PT PLN (Persero).
Acara yang digelar di Bidakara Hotel Jakarta yang berlangsung pada 3 – 4 Juli 2024 dihadiri Serikat Pekerja dari seluruh penjuru Indonesia yang terdiri dari 48 Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan 266 Dewan Perwakilan Cabang (DPC) dengan jumlah total peserta sebanyak 779 Anggota SP PT PLN (Persero).
Acara ini merupakan bentuk kolaborasi yang erat antara Serikat Pekerja PLN dan Direksi PT PLN (Persero) dalam menghadirkan berbagai perspektif untuk memajukan tujuan bersama perusahaan dalam bidang energi yang berkelanjutan dan keadilan sosial serta bertujuan untuk :
1. Merumuskan program kerja dan strategi yang akan dijalankan oleh serikat pekerja dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Mendorong inovasi dan pengembangan kapabilitas sumber daya manusia di lingkungan PT PLN (Persero).
2. Membangun keselarasan visi dan misi antara serikat pekerja dan jajaran direksi PT PLN (Persero) guna mencapai tujuan bersama.
3. Mengevaluasi pelaksanaan program kerja sebelumnya dan mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan.
4. Memperkuat solidaritas dan kerjasama antar anggota serikat pekerja.
5. Menyusun rekomendasi kebijakan yang mendukung peningkatan kesejahteraan pekerja dan efisiensi perusahaan.
6. Menanggapi isu-isu strategis baik di tingkat nasional maupun global yang mempengaruhi PT PLN (Persero) dan anggotanya.
7. Mengidentifikasi peluang dan tantangan dalam menghadapi transisi energi dan perkembangan teknologi dalam industri kelistrikan.
Dalam acara tersebut, dua sesi sharing session utama diselenggarakan diantaranya sesi Sharing Session ” Proud to be Safety Inspector Save Human Save Corporate” oleh EVP K3L Doddy B. Pangaribuan dan sesi Sharing Session “Managed Care” oleh EVP Yan HC Suparyanto.
Kegiatan ini tidak hanya mencerminkan komitmen Serikat Pekerja PT PLN (Persero) dalam mendukung visi perusahaan untuk energi yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial, tetapi juga sebagai wujud nyata dari semangat kolaborasi antara SP PLN dan Direksi PLN dalam mencapai tujuan bersama.
Melalui forum ini, diharapkan akan terus terjalin dialog yang produktif dan solutif untuk memperkuat posisi PLN sebagai pelaku utama dalam sektor energi nasional yang bertanggung jawab dan berorientasi pada keberlanjutan.
Ketua Umum SP PT PLN (Persero) M. Abrar Ali, menyampaikan penting dan perlunya dukungan dari pemerintah untuk mengoptimalkan kinerjanya demi kepentingan masyarakat dan kemajuan negara.
”Jangan biarkan kami sendiri, PLN bukan perusahaan swasta, PLN merupakan Milik Negara jadi Pengelola Negara (Pemerintah) harus berpihak kepada PLN dan sudah sampai ke Tim Presiden dengan tidak mendukung Power Wheeling,” ujar M. Abrar Ali.
M. Abrar Ali menambahkan, SP PLN setelah Deklarasi Hari Listrik Nasional Tahun 2023 dalam mewujudkan Satu SP Satu PLN hingga hari ini telah terbentuk 7 Ketua Dewan Pimpinan Daerah (KDPD) dari Anak Perusahaan.
“Setelah Deklarasi Hari Listrik Nasional Tahun 2023 pada tanggal 27 Oktober 2023 terkait Satu SP Satu PLN hingga sekarang telah bergabung bersama kita KDPD dari PLN Batam, PLN E, Haleyora Power, Haleyora Power Indo, Nusa Daya, Nusantara Power dan Indonesia Power,” tambah M. Abrar Ali.
Direktur Legal and Manajemen Human Capital PT PLN (Persero) Yusuf Didi Setiarto, menekankan PLN memainkan peran penting dalam menghadapi tantangan transisi global menuju energi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Terkait dengan tema ini, bahwa PLN Sebagai tulang punggung dan sekaligus Jantung Indonesia tidak berada di ruang hampa, PLN berada dari suatu ekosistem baik dari bagian Republlik ini atau bagian dari komunitas global khususnya dalam menghadapi transisi global yang akan datang cepat atau lambat,” ujar Yusuf Didi Setiarto.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan RI Afriansyah Noor sebelum secara resmi membuka kegiatan Rakernas ii berpesan dengan rakernas ini dapat menghasilkan sesuatu yang baik dan berkolaborasi secara optimal antara SP PLN dengan Direksi PT PLN (Persero) untuk mendukung Indonesia lebih baik.
”Rakernas tentunya bagian dari program agenda sebuah organisasi, tentunya dalam pelaksanaan Rakernas ini bisa merumuskan apa yang menjadi program dan target jangka pendek hingga panjang sesuai dengan temanya yang luar biasa agar dapat memberikan manfaat bersama dari kolaborasi SP PLN dengan jajaran direksi PLN untuk membangun kekuatan keekonomian negeri ini,” tegas Afriansyah Noor.