Connect with us

Pohukam

Paguyuban Demak Bintoro Nusantara (PDBN) Berangkatkan Mudik Gratis Rabu, 19 April 2023

Published

on

Jurnaljakarta.com – Jelang hari Raya Idul Fitri 1444 H atau 2023 M, Paguyuban Demak Bintoro Nusantara (PDBN) mengadakan Mudik Gratis bagi masyarakat Demak di Jabodetabek.

Ketua Umum Paguyuban Demak Bintoro Nusantara (PDBN), Drs. Fathan Subchi, M.P.A menuturkan, kegiatan ini bertujuan untuk membantu memudahkan masyarakat Demak di Jabodetabek yang hidup di perantauan merayakan hari Raya Idul Fitri di kampung halamannya.

“Kami sediakan sebanyak 2 Bus dengan jumlah penumpang 100 orang untuk pemberangkatan hari Rabu, tanggal 19 April 2023, pukul 10.00 wib di Pasar Induk Kramatjati, Kampung Tengah, Kramatjati, Jakarta Timur,” ujar Fathan melalui keterangannya, Senin (17/4).

Pria yang juga Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fraksi PKB itu mengatakan, PDBN
memang mempunyai tradisi mudik gratis, sebagai bentuk kepedulian kepada masyarakat Demak di Jabodetabek yang akan pulang ke kampung halamannya.

“Mudik gratis ini bisa meringankan beban masyarakat yang ingin pulang kampung, di tengah perekonomian yang baru bangkit usai pandemi Covid – 19,” katanya.

Fathan berharap, masyarakat yang ikut mudik gratis dapat menjalankan hari kemenangan di kampung halamannya dengan lancar dan aman sampai tujuan.

“Mudah-mudahan dengan bantuan PDBN silaturahmi yang dijalin selama mudik dapat berjalan dengan lancar aman dan tertib,” pungkasnya. (Red).

Pohukam

Penguatan Penegakan Hukum dan Good Governance Sebagai Pondasi Pemerintah Bersih dan Berintegritas

Published

on

By

JURNALJAKARTA.COM  – Mahkamah Agung Republik Indonesia menegaskan komitmennya dalam memperkuat penegakan hukum sebagai fondasi utama mewujudkan pemerintahan yang bersih, berintegritas dan berlandaskan prinsip good governance.

Melalui keterangannya, Rabu (26/11), Kepala Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Dr. H. Sobandi, S.H, M.H, menegaskan pentingnya penguatan penegakan hukum sebagai pondasi utama dalam membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, berintegritas dan berorientasi pada prinsip good governance.

Pernyataan ini disampaikan dalam rangka memperkuat komitmen bersama menghadapi tantangan penyelenggaraan negara yang semakin kompleks di era digital dan dinamika global saat ini.

Dalam pandangannya, Dr. Sobandi menekankan bahwa, pemerintah yang bersih dan berintegritas merupakan cita-cita kolektif seluruh bangsa Indonesia. “Upaya penegakan hukum yang dilakukan secara tegas, transparan dan tanpa pandang bulu adalah fondasi penting yang menentukan kualitas tata kelola pemerintahan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa, penegakan hukum tidak boleh berhenti pada aspek penindakan semata, melainkan harus mencakup pembangunan sistem yang mampu mencegah potensi penyimpangan sedari awal.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa, upaya pencegahan dapat diwujudkan melalui penguatan mekanisme pengawasan internal, perbaikan proses kerja, serta penumbuhan budaya integritas di seluruh tingkatan birokrasi, baik pusat maupun daerah.

Menurutnya, integritas merupakan prasyarat utama lahirnya keadilan yang berkelanjutan. “Integritas adalah roh dari kekuasaan kehakiman, tanpa integritas, keadilan kehilangan maknanya,” tegas Dr. Sobandi.

Dalam konteks reformasi birokrasi nasional, Mahkamah Agung terus mendorong percepatan modernisasi dan transformasi layanan peradilan. Hal ini dilakukan melalui digitalisasi proses peradilan, peningkatan kualitas SDM aparatur, serta penguatan standar profesionalisme dalam setiap aspek penyelenggaraan peradilan.

Dr. Sobandi menegaskan bahwa, Mahkamah Agung berkomitmen menghadirkan aparatur peradilan yang tidak hanya kompeten, tetapi juga memiliki integritas dan orientasi kuat terhadap pelayanan publik yang berkualitas.

Ia menambahkan bahwa, reformasi ini bukan sekadar agenda institusi peradilan, tetapi merupakan bagian dari upaya besar untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum nasional. “Ketika masyarakat melihat bahwa proses hukum berjalan objektif, transparan dan akuntabel, maka kepercayaan publik akan meningkat dan inilah yang menjadi pondasi stabilitas pemerintahan,” jelasnya.

Dr. Sobandi juga menyoroti pentingnya sinergi antar lembaga dalam memastikan efektivitas penegakan hukum. Menurutnya, kolaborasi antara Mahkamah Agung, aparat penegak hukum, serta lembaga pengawasan internal maupun eksternal menjadi faktor utama yang menentukan objektivitas dan akuntabilitas setiap tindakan hukum. “Tidak ada satu lembaga pun yang bisa bekerja sendirian. Penegakan hukum hanya dapat berjalan kuat jika dilakukan dengan kerja sama yang solid dan koordinasi yang berkelanjutan,” tegasnya.

Ia juga menekankan bahwa, sinergi itu harus dibangun di atas prinsip independensi, profesionalitas dan keterbukaan informasi agar setiap proses penegakan hukum dapat diawasi masyarakat tanpa mengganggu proses peradilan itu sendiri.

Selain aspek kelembagaan, Dr. Sobandi menegaskan bahwa, upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan berintegritas bukan hanya menjadi tanggung jawab lembaga negara. Seluruh elemen masyarakat mulai dari aparatur negara, akademisi, dunia pendidikan, media massa, hingga masyarakat sipil memiliki peran strategis dalam mengawal integritas penyelenggaraan pemerintahan. Melalui edukasi publik, partisipasi masyarakat, serta pengawasan sosial, komitmen terhadap integritas dapat diperkuat dan diperluas.

“Integritas bukan hanya slogan, tetapi perilaku kolektif. Pemerintahan yang bersih mewajibkan partisipasi seluruh rakyat Indonesia,” ungkapnya.

Menutup pernyataannya, Dr. Sobandi mengajak seluruh elemen bangsa untuk memperkuat semangat kolaborasi dan keterbukaan dalam membangun kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan.

Ia berharap, upaya bersama ini menjadi langkah nyata dalam perjalanan panjang bangsa menuju pemerintahan yang bersih, berkeadilan dan berorientasi pada kepentingan rakyat. “Dengan kolaborasi, integritas dan profesionalitas, kita dapat membangun Indonesia yang lebih bersih, transparan dan berkeadilan bagi seluruh rakyatnya,” pungkasnya. (Red).

Continue Reading

Pohukam

Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Mengapresiasi Kinerja Polri

Published

on

By

JURNALJAKARTA.COM  – Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati Tangka, tegas menolak revisi Undang-Undang (RUU) Polri. Pasalnya, UU yang saat ini berlaku telah mengatur semua hal terkait Kepolisian dengan kajian matang.

Menurutnya, hanya diperlukan pelaksanaan serta pengawasan yang diperkuat sehingga dapat berjalan optimal.

“Jika ingin merevisi, tidak perlu dalam segi undang-undang menurut saya. Bagaimana institusi Kepolisian ini diperbaiki di dalam. Itu saja, tidak perlu melalui revisi undang-undang,” ujar Mike melalui keterangannya, Jum’at (21/11/2025).

“Bagaimana kebijakan teknis, regulasi operasional, yang itu memperkuat institusi Polri,” sambungnya.

Mike menuturkan, pembenahan Polri bukan dengan merubah undang-undang melainkan sanksi yang dijatuhkan terhadap pelanggaran harus jelas dan tegas. Langkah itu dinilainya lebih solutif dari segi pembinaan maupun efek jera, demikian juga dengan reward yang diberikan secara obyektif kepada anggota Polri yang berprestasi, sehingga perbaikan bisa benar-benar terjadi dari dalam yang secara perlahan namun pasti, akan dirasakan oleh masyarakat luas.

“Pengaturan sudah cukup kuat,” ucapnya.

Tak hanya itu, kata Mike, perbaikan juga bisa dilakukan dengan cara pemberian kewenangan pengawasan terhadap kinerja Kepolisian kepada masyarakat.

“Bagaimana institusi Kepolisian ini imputable. Bukan Cuma Polisi, masyarakat umum bisa men-tracking apa saja misalnya yang sudah dikerjakan Polisi, termasuk indikasi-indikasi korupsi. Bagaimana ini saja yang dikuatkan,” tuturnya.

Jika tetap revisi dilakukan, kata Mike, hal-hal tadi saja yang perlu diperkuat. Bagaimana institusi kepolisian menjalankan mandatnya dan mengurangi persoalan korupsi di tubuh Polri.

“Kita butuh penegakan hukum yang kuat. Sudah bukan alasan lagi untuk tidak berbenah diri,” papar Mike.

Jika revisi UU Polri dilakukan, ia tak ingin hal itu melenceng dari konstitusi. Terutama terkait peran dan fungsi dari Polri. “(Revisi harus) Dikembalikan sesuai yang ditetapkan oleh konstitusi kita, UUD 1945. Bagaimana peran Polri sesuai konstitusi. Polri secara resmi telah membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri yang termaktub sesuai Surat Perintah (Sprin) Kapolri Nomor Sprin/2749/IX/2025 tertanggal 17 September 2025. Hal ini merupakan tindak lanjut Polri untuk bekerja sama dengan Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait, melalui pendekatan sistematis. Tujuan pembentukan tim tersebut untuk mengelola transformasi institusi guna mencapai proses dan tujuan akselerasi transformasi Polri sesuai dengan harapan masyarakat. Proses dan tujuan mendasar dan luas yang melibatkan seluruh satuan kerja dan wilayah berdasarkan visi strategis (Grand Strategy Polri 2025 -2045),” pungkasnya.

Saat ini peningkatan kepercayaan publik terhadap Polri yang tembus 76,2 persen dalam survei Litbang Kompas edisi Oktober 2025 menuai apresiasi. Angka ini dinilai sebagai bukti bahwa reformasi di tubuh Kepolisian mulai benar-benar dirasakan masyarakat. (Red).

Continue Reading

Pohukam

Hak Tanggungan Pemenang Lelang, Pemohon: MK Harus Kabulkan Gugatannya

Published

on

By

Siti Aisyah, Pemohon dalam Sidang Pemeriksaan Pebaikan Permohonan Perkara 208/PUU- XXIII/2025 di MK , Kamis (20/11/2025). (Foto Humas/Hamdi)

JURNALJAKARTA.COM, – Siti Aisah, selaku Pemohon yang menguji Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang perbaikan permohonan dalam Perkara Nomor 208/PUU-XXIII/2025, pada Kamis (20/11/2025) di Ruang Sidang MK, yang dipimpin Ketua MK, Suhartoyo.

Agenda Sidang kali ini penyampaian perbaikan dalil Pemohon Siti Aisah yang menilai Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UU Hak Tanggungan bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 karena dianggap mengurangi perlindungan hak milik pemenang lelang.

Menurutnya, objek lelang sering masih dikuasai debitur sehingga membuka peluang sengketa dan memperlambat pelaksanaan eksekusi.

“Penjelasan tersebut khususnya tentang lelang hak tanggungan dianggap tidak memberikan perlindungan bagi pemenang lelang selaku pemilik harta benda pribadi karena objek lelang masih dalam kekuasaan debitur dan memberikan ruang kesempatan kepada debitur untuk sewenang-wenang menguasai harta benda pemenang lelang dengan melakukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada pemenang lelang demi memperpanjang waktu untuk objek lelang. Padahal, konstitusi menjamin perlindungan hak milik dan harta benda pemenang lelang,“ ujarnya.

Pemohon juga menyampaikan bahwa, ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi.

Lebih lanjut, Pemohon menilai Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) berpotensi ditafsirkan hanya memberikan kewenangan eksekusi penjualan kepada kreditor tanpa mencakup eksekusi pengosongan objek lelang. Kondisi ini dianggap bertentangan dengan asas pengayoman, keadilan, kemanusiaan, dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.

“Dengan demikian, dengan sepatutnya Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 patut ditafsirkan untuk sampai ke tahap pelelangan umum. Pemegang hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial untuk mengeksekusi objek hak tanggungan dan pengosongan objek hak tanggungan,” jelasnya.

Sebelumnya, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 6 UU UU HT tidak memberikan perlindungan hukum terhadap pembeli lelang yang beritikad baik. Pemohon menilai ketentuan tersebut hanya menguntungkan pihak bank atau kreditur, sementara pembeli lelang justru harus menanggung beban hukum dan administratif setelah proses lelang selesai.

Pemohon menegaskan bahwa, permohonannya tidak bersifat ne bis in idem, sebagaimana diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 7 Tahun 2025.

Ia juga menyebut, beberapa perkara serupa yang pernah diputus MK, di antaranya Putusan Nomor 97/PUU-XXIII/2025, Putusan Nomor 70/PUU-VIII/2010, Putusan Nomor 84/PUU-XVIII/2020, dan Putusan Nomor 21/PUU-XVIII/2020.

Dalam permohonannya, Pemohon mempersoalkan frasa “Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri” sebagaimana dimuat dalam Pasal 6 UU Hak Tanggungan. Menurutnya, frasa “kekuasaan sendiri” bersifat ambigu dan menimbulkan ketidakpastian hukum, karena dapat dimaknai bank hanya menguasai sertifikat jaminan, bukan objek tanah di lapangan.

Pemohon merupakan pemenang lelang atas jaminan Bank BRI Cabang Slawi, Kabupaten Tegal, yang perkaranya berlanjut hingga tingkat banding dan Kasasi. Namun, hingga seluruh proses hukum selesai, objek lelang masih dikuasai oleh debitur. Kondisi ini menyebabkan Pemohon menghadapi berbagai gugatan hingga ke Mahkamah Agung, yang menurutnya menguras waktu, tenaga, dan biaya, meski ia merupakan pembeli beritikad baik.

Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 6 dan Penjelasan Pasal 6 UU Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Untuk sampai kepada tahap pelelangan umum harus didahului dengan eksekusi atas objek hak tanggungan dan pengosongan objek hak tanggungan,” pungkasnya. (Red/Hms MK).

Continue Reading

Populer